Menu
Cahaya Akhwat

Kita dalam Al-Qur'an

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Sebenarnya kita itu disebut dalam Al-Qur’an. Begini ceritanya;
Suatu saat seorang tabi’in, Ahnaf bin Qois sedang duduk santai, kemudian dia teringat firman Allah ;

(لَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ
ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (الأنبياء : 10 
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS: Al-Anbiya-10).
Kemudian Ahnaf berkata; eeem, saya harus mencari diri saya dalam Al-Qur’an, saya ini siapa dan mirip siapa. Kemudian dia menemukan ayat;

كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ * وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ * (الذاريات 17-19)

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzaariyat: 17-19).
Kemudian dia menemukan ayat yang lain;

الذين ينفقون في السرّاء والضرّاء والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran: 134)
Kemudian dia menemukan ayat yang lain:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ .وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  
“… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Kemudian dia menemukan ayat yang lain;

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُون
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syuura: 37)

Setelah menemukan empat golongan tersebut, dengan sifat tawadhu’ beliau mengatakan; “Ya Allah, saya tidak menemukan diri saya dalam golongan-golongan itu,” kemudian dia mencari-cari lagi dan menemukan ayat;

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shaafaat: 35)
Kemudian beliau menemukan golongan yang dikatakan kepada mereka;

ما سلككم في سقر .قالوا لم نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,  dan kami tidak (pula) memberi makan orang.” (QS: Al-Muddatstsir, 42-44).
 Kemudian beliau berkata; “ Ya Allah, semoga saya tidak termasuk dari mereka.”
Hingga akhirnya beliau menemukan ayat ini;


وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102)

Setelah itu beliau mengatakan; “Ya Allah, mudah-mudahan saya termasuk dari golongan yang ini.”
Jadi, kita termasuk yang mana?
*Saya yakin, in sya Allah tabi’in di atas sebenarnya termasuk dalam empat golongan pertama; dermawan, suka memprioritaskan orang lain, sering qiyamul lail, dan pemaaf. Cuma sifat tawadhu’nya mengalahkan dirinya untuk -naudzubillah- bersifat sombong dan riya.
karena sebenarnya sifat sombong itu hanya milik Tuhan, sang penguasa jagad raya.
Bagaimana dengan kita? Aih, kita itu -ألم يك نطفة من منيّ يمنى/ Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),- tidak memiliki apa-apa untuk membuat kita sombong, karena semua yang kita miliki hanya titipin semata yang pada saatnya harus kita kembalikan. Bukan kah Labid pernah mengatakan;

وما المال والأهلون إلا ودائع : ولا بدّ يوما أن تردّ الودائع 

Semua apa yang kita miliki adalah titipan, dan suatu saat titipan itu harus dikembalikan.

Sumber dari sini




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Sebenarnya kita itu disebut dalam Al-Qur’an. Begini ceritanya; S uatu saat seorang tabi’in, Ah...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Ada Cinta dalam Takwa





Kutatap wajah lelahnya. Dari tatapan matanya redup, aku sudah tau, ia tidak mendapatkan apa-apa, untuk menyambung hidup kami besok hari.

“Maafkan aku! Ketika aku berhadapan dengan mereka, tiba-tiba mulutku terasa bungkam. Aku tak bisa berucap pada mereka walau sekadar hanya meminjam uang untuk satu liter beras. Maafkan aku!” ucap suamiku tertunduk.
Sejak siang tadi ia turun ke kota, silaturrahmi ke teman-temannya, berharap di antara mereka ada yang bisa meminjamkan uang kepada kami.

Emosiku melijit tinggi. Lalu mau makan apa besok pagi? Bukankah dia perlu makan, agar ia bisa kuat lagi naik gunung untuk menyadap karet? Kenapa ia tak bisa berucap pada teman-temannya untuk sekadar berhutang? Kenapa? Apakah ia gengsi, malu mengakui kalau sebenarnya hidup kami saat ini dalam kekurangan? Ia boleh gengsi. Mungkin ia memang tahan menahan lapar, tapi tidakkah terpikirkan olehnya bahwa anak-anaknya tak kan kuat menahan lapar?
Beruntungnya, emosi yang meluap-meluap masih bisa kutahan, sehingga tak perlu keluar dalam bentuk lahar, lalu membakar perasaannya.

Sekali lagi kutatap wajah lelahnya. Ia memang telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah. Hanya saja, kebun karet yang disadapnya masih milik orang lain, sehingga harus berbagi hasil dengan pemilik kebun. Walaupun hasilnya sangat sedikit dari rata-rata penduduk sini, namun aku masih bisa mengelolanya untuk kebutuhan kami sehari-hari.

Tapi kali ini, harga karet menurun drastis, ditambah lagi di musim kemarau pohon-pohon karet mengeluarkan getah yang sangat sedikit, dan juragan karet mengumpulkan karet-karet dari penduduk hanya sebulan sekali. Penghasilan suamiku bulan ini tidak mencukupi untuk sebulan, sementara kami tidak mempunyai tabungan.

Salah satu kelebihannya yang sangat kugami. Ia tak pernah meminta kepada siapa pun atau sekadar mengeluh tentang kesempitan hidupnya, walaupun kepada orang tuanya sendiri. Padahal orang tuanya adalah orang yang berkecukupan. Sifat satu inilah yang membuatnya tak bisa berucap untuk meminta bantuan kepada orang lain.
“Sudahlah, Mas! Tak perlu sedih begitu. Kita berdoa saja pada Allah, mudahan Allah beri rezeki untuk kita. Kalaupun memang belum rezeki kita, mudahan Allah beri kita kekuatan,” kataku melembut sambil memegang pundaknya. Aku tak ingin ia dihantui rasa bersalah, walaupun sebenarnya perasaanku sendiri dalam keadaan gamang.

Ia mengangkat wajahnya, “Terima kasih Dik, atas pengertiannya.”

Aku mengangguk, “Sebaiknya Mas istirahat!”

Ia memutarkan pandangannya ke sekitar kebun karet, terlihat seluit jingga mulai muncul di ufuk langit. “Sebaiknya aku bersiap-siap ke masjid, sebentar lagi Maghrib. Dan mungkin habis Isya, baru bisa pulang. Doakan ya, mudahan malam ini, Allah bukankan jalannya.”
Aku mengangguk cepat sambil tersenyum. Aku bahagia sekali melihatnya. Memang dia tak bisa memberikan banyak materi untuk anak istrinya. Namun kesalehannya lebih dari cukup untuk kami.
***

Aku tak sabar menunggu kedatangan suamiku, dari masjid sehabis shalat Isya. Aku berharap, ia mendapatkan sedikit uang atau beras atau apa saja yang bisa dia dimakan dan anak-anak  di pagi hari. Agar ia dan anak-anak kuat untuk beraktivitas.

Tapi harapan itu tiba-tiba pupus, ketika melihat tangannya yang kosong dan wajahnya yang tidak mengesankan adanya berita gembira.  Hasbunallah wani’mal wakil.
***


Tok… tok…

Bunyi ketukan pintu membuat kami terkejut, sekaligus was-was. Siapa yang datang malam-malam begini? Di hutan ini? Aku melirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan jam sepuluh.

Tok… tok…

“Siapa?” tanya suamiku bernada curiga sekaligus cemas.

“Ini aku, Tayyib.” Terdengar sahutan dari luar.

Kami saling berpandangan. Apa maksud kedatangan Tayyib malam-malam begini? Terlebih dia bukan penduduk sini, dia penduduk dari kampung di atas, Tanuhi. Sekitar sepuluh kilometer dari sini.

Suamiku bergegas berdiri membukakan pintu. “Tayyib, ada apa? Eh, masuk-masuk!” kata suami tergagap, ketika menyadari kalau ia belum mempersilahkan temannya masuk.

“Tidak. Aku di sini saja. Aku hanya ingin bayar hutang. Ini,” ucap Tayyib sambil menyodorkan beberapa lembar uang dan sekantong pelastik kecil. “Ini sedikit beras, hasil panen kami.”

“Tayyib. Kenapa repot-repot begini? Kenapa tidak kau tunggu besok saja? Ini malam, gelap lagi karena tak ada bulan, tentu sangat berbahaya!” kata suamiku yang keheranan sekaligus bercampur bahagia.

“Tadinya mau begitu. Tapi, entah kenapa hatiku ingin segara kemari.”
Dari kejauhan, kuperhatikan wajah polosnya tidak menunjukkan bahwa ia tahu akan kesulitan kami.
Tayyib, asli penduduk Tanuhi, untuk ke sini, dia harus melewati jalan yang berkelok-kelok bak ular dan menanjak tajam. Belum lagi di pinggir-pinggir jalan banyak jurang-jurang yang curam.

Hatiku berdecak hebat. Siapa lagi yang menggerakkan hati, kaki, tangan dan seluruh anggota badannya kecuali Allah. Ya, Allahlah yang menggerakkan semuanya. Inilah pertolongan Allah kami. Ada cinta di balik ketakwaannya.  

“… Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-thalaq: 4)

Kutatap wajah lelahnya. Dari tatapan matanya redup, aku sudah tau, ia tidak mendapatkan apa-apa, untuk menyambung hidup kami bes...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Rayuan Allah


بسم الله الرحمن الر حيم
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr [89]:27-30)
Ungkapan lembut tersebut adalah rayuan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang juga disertai ajakan yang provokatif. Bagaimana mungkin kita tidak tergiur dengan rayuan semacam itu?
Kita bisa bekerja dengan keras saat jiwa kita sedang asyik dengan Al-Qur’an. Tetapi di saat yang lain, kita mungkin mengalami kondisi keengganan yang besar, jangankan disuruh menghafal, sekadar melihat mushaf pun sangat tidak siap. Untuk kondisi seperti itu, kita perlu merayu diri sendiri, merenungi kehidupan diri kita sendiri sambil mencari bahasa apa yang dapat membangkitkan energi kita untuk kembali bekerja: meraih cita-cita hidup bersama Al-Qur’an.
Berbagai permasalahan umum pada diri kita saat berinteraksi dengan Al-Qur’an antara lain:
1. Kita sadar sepenuhnya bahwa tilawah setiap hari adalah keharusan, tetapi jiwa kita belum siap untuk komitmen secara rutin sehingga dalam sebulan, begitu banyak hari-hari yang terlewatkan tanpa tilawah Al-Qur’an.
2. Kita paham bahwa menghafal Al-Qur’an adalah kemuliaan yang besar manfaatnya, tetapi jiwa kita belum siap untuk meraihnya dengan mujahadah.
3. Kita sadar bahwa masih banyak ayat yang belum kita pahami, namun jiwa kita tidak siap untuk melakukan berbagai langkah standar minimal untuk dapat memahami isi Al-Qur’an.
4. Kita sadar bahwa mengajarkan Al-Qur’an sangat besar fadhillahnya, tetapi karena minimnya apresiasi dan penghargaan ummat terhadap para pengajar Al-Qur’an maka sangat sedikit yang siap menjadi pengajar Al-Qur’an.
5. Kita paham bahwa shalat yang baik – khususnya shalat malam – adalah shalat yang panjang dan sebenarnya kita mampu membaca sekian banyak ayat, namun jiwa kita kadang tidak tertarik terhadap besarnya fadhillah membaca Al-Qur’an di dalam shalat.
6. Kita sadar bahwa dakwah dijamin oleh nash Al-Qur’an dan Allah Swt akan memberikan kemenangan, namun jiwa kita tidak sabar dengan prosesnya yang panjang sehingga cenderung meninggalkan atau lari dari medan dakwah.
7. Kita paham betul bahwa banyak keutamaan di dunia dan akhirat bagi manusia yang berinteraksi dengan Al-Qur’an, tetapi fadhillah tersebut hanya menjadi pengetahuan, tidak mampu menghasilkan energi yang besar untuk beristiqamah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
8. Kita paham dengan sangat jelas bahwa semua tokoh Islam di atas bumi ini adalah orang-orang yang telah berhasil dengan ilmu Al-Qur’an dan mereka pun menguasai kehidupan dunia, namun jiwa kita enggan mempersiapkan generasi mendatang yang hidupnya berada di bawah naungan Al-Qur’an.
Jangan pernah berhenti untuk merayu diri agar segera bangkit. Tanyakanlah pada diri kita:
1. Wahai diri, tidakkah kamu malu kepada Allah subahanahu wa ta’ala? Mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala tetapi tidak merasa senang berinteraksi dengan Kalam-Nya. Bukankah ketika manusia cinta dengan manusia lain, ia menjadi senang membaca suratnya bahkan berulang-ulang? Mengapa kamu begitu berat dan enggap untuk hidup dengan wahyu Allah  subhanahau wa ta’ala? Adakah jaminan bahwa kamu mendapat pahala gratis tanpa beramal shalih? Dengan apa lagi kamu mampu meraih pahala Allah subhanahu wa wa’ala? Infak cuma sedikit, jihad belum siap, kalau tidak dengan Al-Qur’an, dengan apa lagi?
2. Wahai jiwaku, siapa yang menjamin keamanan dirimu saat gentingnya suasana akhirat? Padahal Rasulullah Saw menjamin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan keamanan bagi manusia yang rajin berinteraksi dengan Al-Qur’an, mulai dari sakaratul maut hingga saat melewati shirat.
3. Wahai jiwaku, tidakkah kamu malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Dengan nikmat-Nya yang demikian banyak, yang diminta maupun tidak, tidakkah kamu bersyukur kepada-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an?
4. Wahai jiwaku, sadarkah kamu ketika Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya mengajak dirimu memperbanyak hidup bersama Al-Qur’an? Untuk siapakah manfaat amal tersebut? Apakah kamu mengira bahwa dengan banyak membaca Al-Qur’an maka kemuliaan Allah dan Rasul-Nya menjadi bertambah? Dan sebaliknya, jika kamu tidak membaca Al-Qur’an, kemuliaan itu berkurang? Sekali-kali tidak. Semua yang kita baca dan lakukan, kitalah yang paling banyak mendapatkan manfaatnya.
5. Wahai jiwa, tidakkah kamu merasa khawatir dengan dirimu sendiri? Selama ini hidup tanpa al-Qur’an, jatah usia makin sedikit, tabungan amal shalih masih sedikit, jaminan masuk surga tak ada di tangan. Sampai saat ini belum mampu tilawah rutin satu juz per hari, jangan-jangan Al-Qur’anlah yang tidak mau bersama dirimu karena begitu kotornya dirimu sehingga Al-Qur’an selalu menjauh dari dirimu.
6. Wahai jiwa, tidakkah engkau tergiur untuk mengikuti kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla, dan para sahabat serta tabiin yang menjadi kenangan sejarah sepanjang zaman dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an? Jika hari ini kamu masih enggan berinteraksi dengan Al-Qur’an apa yang akan dikenang oleh generasi yang akan datang tentang dirimu?
Ungkapan di atas adalah perenungan terhadap diri sendiri dalam urusan dunia dan akhirat, hal yang dianjurkan oleh Allah Swt agar hidup kita tidak berlalu begitu saja tanpa makna.
.Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-nya kepadamu supaya kamu berpikir. Tentang dunia dan akhirat…” (QS Al-Baqarah [2]: 219-220)
   Dari : Mufid S Kara



بسم الله الرحمن الر حيم “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Ada Berkah dalam Bakti

ilustrasi




Aida mengembuskan napas lelahnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya yang terasa kaku. Baru saja ia menyelesaikan tumpukan cuciannya. Setelah itu, ia meluncur ke dapur untuk mengambil semangkok bubur dan segelas air putih.

“Ibu, makan ya,” bujuk Aida pada ibu mertuanya yang terbaring dalam kamar, Zubaidah. 
Dengan pelan Aida membantu Zubaidah duduk, lalu meletakkan bantal untuk dijadikan sandaran Zubaidah.
Aida menatap Zubaidah yang sedang menikmati bubur buatannya. Hari ke hari, kondisi Zubaidah semakin memprihatinkan. Obat-obatan tidak lagi memberikan dampak yang signifikan. Aida hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Allah memberi kesehatan pada ibu mertuanya itu. 

**
Baru saja Aida mencuci beberapa buah piring, tiba-tiba ia mendengar erangan Zubaidah dari kamar.
Ia bergegas menuju ke kamar. Terlihat Zubaidah mengerang kesakitan sambil memegang perut. Aida meringis melihatnya, ia segera memijit telapak kaki ibu mertuanya. Aida tahu, pijitannya tidaklah memberikan pengaruh apa-apa, tapi setidaknya bisa membuat perasaan Zubaidah merasa lebih nyaman.

Zubaidah telah tertidur pulas.  Sejenak Aida menoleh kalender, sekarang ia tak bisa lagi membuang kekhawatirannya.


***


Sebuah panggilan yang membuat Aida tersentak. Irsyad, suaminya masuk ke dalam kamar Zubaidah.

“Salamku tidak kamu jawab,” kata Irsyad, sambil menghampiri Aida, lalu mencium kepala Aida sekilas.

“Waalaikumussalam,” ucap Aida sambil menampakkan wajah permohonan maaf.

Irsyad tersenyum tipis. Ia memang sudah menduga Aida tidak mendengar salamnya. Irsyad menatap tangan kanan Aida yang memegang mushaf, sebelah kirinya memijiti kaki ibunya. Pandangan Irsyad beralih ke wajah ibunya yang terpejam. 




“Bagaimana keadaan, Ibu?” tanya Irsyad pelan.

Aida hanya bisa membalas dengan helaan napas. 

“Sepertinya ibu sudah tidur, kamu bisa murajaah di luar.” 

“Ibu memang seperti tidur, tapi ia akan terbangun jika ditinggalkan,” bisik Aida.

Irsyad menatap wajah ibunya yang sepertinya sudah terlelap. Ia memahami ibunya memerlukan perhatian lebih, dan ia tak mempermasalahkan sepanjang Aida bisa melakukannya. Hanya saja, Irsyad mengkhawatirkan Aida karena berapa hari lagi Aida harus tes hafalan 30 juz. Aida tidak akan bisa berkonsentrasi penuh jika harus melayani ibunya dan melakukan banyak kesibukan sebagai ibu rumah tangga. 

“Kamu murajaah saja di luar, biar aku yang jaga ibu,” ucap Irsyad sambil menyentuh telapak kaki ibunya.
“Mas, mandi dulu, lalu makan. Saya sudah siapkan makanan di atas meja,” sahut Aida sambil mengambil alih kaki Zubaidah yang tadinya sempat dipegang Irsyad.



***


Aida keluar dari kamar Zubaidah setelah memastikan ibu mertuanya benar-benar terlelap. Langkahnya terhenti ketika di depan pintu kamarnya.

“Tolonglah, Kak!” Irsyad sedang berbicara dengan kakak perempuannya di telpon. “Kak, hanya berapa ini saja. Setelah Aida selesai tes, kami akan ke sini lagi. … Kak … Tapi… Kak!”  

Aida terpaku menatap Irsyad yang menahan kesal. Sebulir air mata jatuh di pipinya. Tadinya ia ke kamar juga untuk membicarakan hal itu. Ia ingin meminta izin beberapa hari saja untuk fokus persiapan tes hafalannya. Ternyata Irsyad pun memiliki pemikiran yang sama. Tapi….

Aida terkesiap melihat Irsyad yang kaget melihatnya. Ia segera mengusap wajah, lalu menampilkan senyuman. 

“Mas, belum tidur?” tanyanya mengalihkan perhatian. “Jangan terlalu larut malam, Mas harus jaga kesehatan.”

Irsyad menghampirinya, lalu mendekapnya. Irsyad meletakkan wajahnya di atas kepala Aida. “Kamu pasti dengar pembicaraanku tadi.”
Aida mengangguk pelan.

“Maafkan, aku.”

Aida merenggangkan pelukan suaminya, “Mas tidak perlu minta maaf. Saya justru sangat berterima kasih, karena Mas telah berusaha berbuat untuk saya.”

Irsyad menatapnya gamang. 

“Sudahlah! Kita sudah berusaha, selebihnya kita serahkan semuanya pada Allah. Yang penting ibu jangan sampai terlantar. Saya akui, saya juga khwatir bagaimana tes hafalan saya nanti, tapi kita harus tetap memprioritaskan ibu.”

“Tapi jika kesibukanmu terus-terusan seperti ini, bisa-bisa kamu tidak lolos. Dan kamu harus menunggu setahun lagi untuk ikutan tes seperti ini. Sementara ibu adalah tanggung jawabku dan saudara-saudaraku.”

Aida memegang kedua tangan Irsyad. “Tanggung jawab Mas juga tanggung jawabku. Sudahlah, saya tak apa. In sya Allah, saya bisa melewatinya,” ucapnya dengan senyuman dibuat meyakinkan. “Saya juga tak menyesal jika harus menerima kegagalan karena saya sudah berbakti pada ibu. Jadi Mas jangan khawatir.”

Irsyad kembali memeluknya. Tanpa suara. Aida pun tak bisa membohongi dirinya. Ia pun ingin lolos tahun ini. Tetapi, jika memang harus seperti ini yang dilaluinya, ia akan belajar ikhlas.



***

lihat juga :

TATAPAN SANG MANTAN


Hingga tiba harinya. Habis shalat Subuh Aida dikelilingi empat orang ustazah yang siap menyimak hafalannya. Awalnya ia gugup. Persiapan yang tidak matang, ditambah kondisi fisiknya yang terlalu lelah membuatnya semakin khawatir. 

Ia mengucapkan bismillah sambil memejamkan mata. Baginya ia sudah berusaha berbuat maksimal sekemampuannya, apakah berhasil atau tidak, semua itu adalah urusan Allah. 

Di juz sepuluh pertama, bacaan hafalan Aida sangat lancar. Di juz sepuluh juz kedua, ia mulai ragu-ragu karena konsentrasi mulai pecah. Beruntungnya ada berapa kali jeda untuk shalat sehingga waktu yang sebentar itu, ia gunakan merelaksasikan kepalanya. Meski tidak menghilangkan lelah sepenuhnya, ia tetap bersyukur.

 Sehabis Isya, ia menyelesaikan juz sepuluh ke tiga. Tubuhnya benar-benar ingin roboh, kepalanya pun sudah terasa berat sekali, dan perutnya sudah semakin melilit. Namun, pantang baginya mundur. Baginya gagal adalah lebih baik daripada menyerah. 

Ia membaca dengan agak lambat, dan entah sudah berapa kali ia diingatkan. Aida tak bisa berharap lagi, tapi ia berazam untuk menyelesaikan 30 juz hari ini.

***

Aida membuka matanya yang masih terasa berat. Senyum Irsyad langsung menyapanya. “Bagaimana keadaanmu, Sayang? Masih cape?”

Aida tak langsung menjawab. Terlebih dahulu ia menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang. Badannya masih terasa remuk.
“Bagaimana keadaan ibu?” 

Irsyad menjentik halus hidungnya. “Di saat seperti ini, kamu masih memikirkan ibu?! Ibu masih seperti itu. Tapi, jangan khawatir, ada kakak yang menemani.”

Irsyad tersenyum geli melihat napas lega Aida. 

“Berapa jam saya tertidur?” tanya Aida sambil meraih ponselnya, namun keburu disambar Irsyad.

 Aida menatap heran.

“Itu tidak penting. Yang penting kamu lihat ini!” Irsyad memperlihatkan sebuah gambar di ponsel Aida. Aida meluruskan badannya begitu mengetahui bahwa gambar itu adalah pengumuman kelolosan. Jantungnya berdetak hebat ketika menyusuri deretan nama.

“Saya lolos?!” seru Aida, seakan tidak percaya dengan penglihatannya atau mungkin ada Aida yang lain.

Irsyad mengangguk. Aida masih terdiam bengong.

“Selamat, ya, Sayang,” bisik Irsyad.
“Alhamdulillah,” serunya sambil menghamburkan diri ke pelukan Irsyad.

Aida tak bersuara. Ia masih belum percaya, tapi kenyataannya ia mendengar ucapan selamat dari suaminya.

Saat itu juga ia tersadar, kalau semua itu adalah karena pertolongan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan orang yang berbakti pada orang tuanya, tak terkecuali kepada mertua.


ilustrasi Aida mengembuskan napas lelahnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya yang terasa kaku. Baru saja ia menyelesaikan tumpu...
El Nurien