Menu
Cahaya Akhwat

Kita dalam Al-Qur'an

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Sebenarnya kita itu disebut dalam Al-Qur’an. Begini ceritanya;
Suatu saat seorang tabi’in, Ahnaf bin Qois sedang duduk santai, kemudian dia teringat firman Allah ;

(لَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ
ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (الأنبياء : 10 
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS: Al-Anbiya-10).
Kemudian Ahnaf berkata; eeem, saya harus mencari diri saya dalam Al-Qur’an, saya ini siapa dan mirip siapa. Kemudian dia menemukan ayat;

كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ * وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ * (الذاريات 17-19)

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzaariyat: 17-19).
Kemudian dia menemukan ayat yang lain;

الذين ينفقون في السرّاء والضرّاء والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran: 134)
Kemudian dia menemukan ayat yang lain:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ .وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  
“… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Kemudian dia menemukan ayat yang lain;

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُون
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syuura: 37)

Setelah menemukan empat golongan tersebut, dengan sifat tawadhu’ beliau mengatakan; “Ya Allah, saya tidak menemukan diri saya dalam golongan-golongan itu,” kemudian dia mencari-cari lagi dan menemukan ayat;

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shaafaat: 35)
Kemudian beliau menemukan golongan yang dikatakan kepada mereka;

ما سلككم في سقر .قالوا لم نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,  dan kami tidak (pula) memberi makan orang.” (QS: Al-Muddatstsir, 42-44).
 Kemudian beliau berkata; “ Ya Allah, semoga saya tidak termasuk dari mereka.”
Hingga akhirnya beliau menemukan ayat ini;


وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102)

Setelah itu beliau mengatakan; “Ya Allah, mudah-mudahan saya termasuk dari golongan yang ini.”
Jadi, kita termasuk yang mana?
*Saya yakin, in sya Allah tabi’in di atas sebenarnya termasuk dalam empat golongan pertama; dermawan, suka memprioritaskan orang lain, sering qiyamul lail, dan pemaaf. Cuma sifat tawadhu’nya mengalahkan dirinya untuk -naudzubillah- bersifat sombong dan riya.
karena sebenarnya sifat sombong itu hanya milik Tuhan, sang penguasa jagad raya.
Bagaimana dengan kita? Aih, kita itu -ألم يك نطفة من منيّ يمنى/ Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),- tidak memiliki apa-apa untuk membuat kita sombong, karena semua yang kita miliki hanya titipin semata yang pada saatnya harus kita kembalikan. Bukan kah Labid pernah mengatakan;

وما المال والأهلون إلا ودائع : ولا بدّ يوما أن تردّ الودائع 

Semua apa yang kita miliki adalah titipan, dan suatu saat titipan itu harus dikembalikan.

Sumber dari sini




Tidak ada komentar