Menu
Cahaya Akhwat

Hikmah dari Seorang Pelacur




“Sesungguhnya ada seorang pelacur yang melihat anjing di siang hari yang sangat panas tengah mengitari sumur. Anjing itu mengelilingi sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu, perempuan itu melepas sepatunya untuk mengambil air dengan sepatu tersebut, maka Allah mengampuni dosanya.”(HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dari kisah di atas kita dapat mengambil beberapa pelajaran.
1.      Jangan meremehkan amal kebaikan. Hatta, menolong seekor makhluk yang dianggap hina, bahkan dalam Islam kita dilarang memelihar anjing. Karena kita tidak tahu, mungkin di sana dapat mendatangkan reda dan pertolongan Allah subahanahu wa ta’ala.

2.      Jangan mudah menjudge seseorang hanya karena sesuatu yang tampak pada dirinya. Kita tidak tahu derajat seseorang di sisi Allah dan akhir dari kesudahan seseorang. Tidak sedikit orang yang kelihatannya buruk, tetapi di akhir hayat mereka bertaubat sehingga Allah ampuni dan mereka seperti bayi yang baru saja lahir. Dan tidak sedikit pula, orang yang awal sangat baik, tetapi siapa sangka di akhir hidupnya menjadi suul khatimah. Na’udzu billah min dzalik. 

Perbuatan buruk tetaplah perbuatan buruk, dan kebaikan tetaplah kita hormati. Akan tetapi, ketika seseorang berbuat keburukan, yang dibenci hanyalah perbuatan, bukan orangnya. Kecuali, sudah jelas-jelas mereka menghina agama. 

3.      Setiap manusia, pasti memiliki naluri kasih sayang (kecuali hatinya yang sudah tertutup), baik memang sudah fitrah, maupun karena berbagai pengalaman. Akan tetapi, kadang naluri itu hanya sekadar muncul, tanpa diapresiasikan dengan tindakan. 

Kita pasti pernah merasakan bagaimana rasanya kehausan, setidaknya sebagi kaum muslimin, haus di bulan Ramadhan. Dengan pengalaman, tentu hati akan terenyuh jika melihat orang kehausan, tak terkecuali kepada seekor anjing. Akan tetapi, kadang kita bersikap masa bodoh karena tidak ingin berkorban lebih jauh.

Padahal ampunan Allah dan kemulian sangat dekat dengan pengorbanan. Apa yang dilakukan pelacur tersebut memang sangat luar biasa. Ia rela mengorbankan sepatu mahalnya (biasanya apa pun yang mereka kenakan, bukan sembarang barang untuk menunjang penampilan mereka) demi seekor anjing.
Karena itu, tak pantas kita menghina seseorang atau merasa lebih baik dari seseorang karena siapa tahu mereka mampu berbuat yang luar biasa, sedang kita merasa sok baik tidak dapat berkorban seperti itu.
Sampai di sini mungkin ada sahabat cahaya akhwat yang dapat mengambil pelajaran lain dari cerita di atas?

“Sesungguhnya ada seorang pelacur yang melihat anjing di siang hari yang sangat panas tengah mengitari sumur. Anjing itu mengelil...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Doa Yang Diajarkan Rasulullah kepada Fatimah




Dari Anas bin Malik,  bahwasanya Rasulullah bersabda kepada Fatimah, "Mengapa kamu tidak mendengarkan apa yang aku pesankan kepadamu? Yaitu,  ucapkan di waktu pagi dan sore hari,  'yaa Hayyuu ya Qayyuum,  birahmatika astaghiits, ashlih lii sya'nii kullahu, wa laa takilnii ilaa nafsii tharfata 'ain.'

ياَ حَيُّ يَا قَيـُّـومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَـغِـيْثُ أَصْلِـحْ لِـيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلَا تَـكِلْنِي إِلىٰ نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
Artinya: Wahai Dzat Yang MahaHidup, lagi Maha Mengurusi (makhluk-Nya), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah keadaanku seluruhnya dan jangan Kau serahkan aku kepada diriku sendiri sekejap mata pun.)

Doa ini diawali dengan menyebut dua nama Asmaul Husna terlebih dahulu,  karena  biasanya - selain memang merupakan adab dalam berdoa – jika doa didahului dengan menyebut Asmaul Husna – doa tersebut akan mustajab.  Ditambah lagi dengan mengatas namakan rahmat Allah atau penghambaan atau memelas rahmat Allah, biasanya ijabah Allah semakin dekat.


Doa berikutnya,  minta diperbaiki  kehidupan seluruhnya. Kita manusia, pastilah menginginkan kehidupan kita baik. Ya tentu saja, baik menurut Allah yang menciptakan dan Mengurusi seluruh makhluk, tentu Allah lebih tau apa yang baik menurut Allah untuk kita.  Sedang menurut kita baik,  belum tentu baik dalam Pengetahuan Allah yang Luas dan penuh Kasih Sayang.

Diakhiri dengan  'jangan serahkan pada diriku sendiri meski sekejap mata'.  Memang, seandainya sekejap mata saja kita berbuat dengan menurut nafsu dan keinginan kita, sedang keinginan tersebut tidak bersandar pada petunjuk agama,  maka dapat dipastikan kita akan hancur, kecuali dengan rahmat Allah.

Sebuah pepatah mengatakan, "Jika Allah menghendaki kehancuran pada semut,  maka cukup diberi-Nya sayap. "
Mungkin kita berpikir dengan adanya sayap,  semut akan bebas dan lebih mudah mencari makanan.  Akan tetapi,  dalam Pengetahuan Allah, justru itulah bentuk Perlindungan Allah.

Doa ini, sangat penting kita amalkan agar kehidupan kita selalu Allah perbaiki dan Allah lindungi dari keinginan dan angan-angan yang membinasakan.

In sya Allah,  niat amal dan sampaikan. ^_^

  *Hadits riwayat Hakim 

Dari Anas bin Malik,  bahwasanya Rasulullah bersabda kepada Fatimah, "Mengapa kamu tidak mendengarkan apa yang aku pesankan ke...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Tolong Tutupi




Suatu waktu, saya menemani rombongan masturah dari Bangladesh. Sebagai tuan rumah, pastilah kita berusaha melayani mereka sebaik mungkin. Baik dari segi transport, tempat tinggal, maupun konsumsi.
 

Permasalahannya, mereka tidak mau dilayani atau dirajakan. Mereka hanya perlu  transport, tempat tinggal dan disambut hangat oleh orang-orang tuan rumah. Soal komsumsi, mereka mau masak sendiri dengan selera sendiri. Kita selaku tuan rumah, tak bisa bersikeras memaksa mereka.

Setiap dua malam, rombongan pindah ke rumah-rumah yang telah disediakan dengan senang hati dan orang-orang tempatan – orang yang tinggal di daerah tersebut/bukan tuam rumah – pun berusaha melayani mereka sebaik mungkin. 

Dan saya lupa, berapa rumah sempat menemani mereka, dan ada beberapa hikmah yang saya inginkan tuangkan di sini.
Sebelumnya, sudah saya ceritakan, orang-orang tempatan telah berusaha sebaik mungkin dalam masalah pelayanan. Namun, pada rumah-rumah pertama, kebjikan-kebijakan yang diberikan terlihat terasa berlebihan dan mubajir, terlebih lagi memang rombongan ingin mandiri. 

Akhirnya, entah rumah yang ke berapa, kebijakan berubah. Dan kebijakan baru juga terlihat bagus, efisien dan tidak mubajir. Hanya saja, dengan kebijakan baru, ada satu sisi yang terabaikan. Akhirnya, sebelum waktu saya menemani mereka berakhir, saya coba sampaikan ke orang tempatan yang lebih dituakan. Karena menurut saya, satu sisi yang terabaikan itu, juga sama penting bagaimana memberikan yang terbaik untuk tamu. Dan entah bagaimana nanti kebijakannya, itu terserah orang-orang tempatan. Saya hanya menyampaikan. 

Maaf, jika cerita saya agak berbelit-belit. Saya hanya coba berusaha menutupi daerah dan kasusnya. Karena pada intinya, saya hanya ingin mengurai hikmahnya, bukan kasusnya. 

Beberapa hari kemudian, saya berkunjung ke rombongan dan bertemu dengan orang tempat saya melapor. Entah kenapa, ada perasaan malu pada beliau. Saya seperti telah mengadukan kesalahan orang lain. Itu yang membuat saya malu, dan mungkin juga, cara penyampaian saya juga memalukan. Saya meminta maaf kepada beliau, karena telah ikut campur dengan urusan daerah mereka, dan padahal saat itu juga saya sebagai tamu, sama seperti rombongan tersebut. 

Setelah itu, beliau berkata, “Tolong tutupi!”
Saya melihat raut wajah beliau saat itu, seakan-akan mewakili semua orang yang melakukan kesalahan. Baik disengaja atau tidak disengaja. 

Padahal, saat saya menyampaikan, niat saya cuma ingin ada kebijakan baru  supaya satu sisi itu juga diperhatikan. Tapi bagi beliau, mungkin itu sebuah kesalahan yang membuat mereka malu.
Setelah itu, saya selalu terngiang-ngiang kalimat itu. Tolong tutupi. Bersamaan itu pula, saya teringat apa saja yang saya lakukan selama menemani rombongan. Saya bercerita banyak kepada teman-teman tertentu perihal rombongan. Tak ada niatan membeberkan aib mereka, dan kadang saya pun memandang bukan aib, tapi sesuatu yang kocak hingga ingin bercerita ke teman lain. 

Indonesia dan Bangladesh, beda Negara, tentu beda karakter. Itulah kadang, saya merasa lucu dengan tingkah-tingkah mereka. Namun, belakangan prilaku saya bercerita ke teman, disilet oleh kalimat, “Tolong tutupi.” Sungguh menyakitkan. 

Terlebih lagi, hari berikutnya saya berkunjung kembali sebagai perpisahan karena semakin jauh mereka bergerak, semakin sulit saya mengunjungi mereka. Pada perpisahan inilah, sikap mereka yang luar biasa  membuat perasaan saya semakin merasa bersalah. Saya telah mengkhianati kebaikan mereka. Sampai saat ini, jika ingat kebaikan mereka, teringat pula lah kesalahan saya. Dosa mungkin saja bisa dimaafkan, tapi jejak di hati tetap tak terhapus. Baik itu kebaikan atau keburukan. 

Berikut beberapa hikmah yang dapat diambil.
1.      Mengadukan kesalahan orang lain meski niatnya baik, kadang bisa mempermalukan diri sendiri. Karena itu, jika memang memerlukan perbaikan, carilah waktu, tempat, bahkan kata-kata yang bijak.
2.      Membicarakan kesalahan orang lain, suatu saat kita akan dihadapkan rasa bersalah, kecuali jika memang  hati kita telah tertutup kebaikan.
3.      Setiap orang pasti merasa malu, jika terlanjur berbuat kesalahan, kecuali orang yang keras hatinya. Pasti juga malu melihatnya serta tak ingin dilihat dan diketahui oleh orang lain, terlebih lagi jika kesalahan itu memang tidak disengaja. Jika begitu, kenapa kita justru senang membicarakan dan membeberkan aib orang lain, padahal kesalahan kita sendiri ingin ditutupi?

Sungguh, sebuah pengkhiatan juga ketidakadilan. Maunya ditutupi setiap kesalahan yang terlanjur, tetapi kenapa justru gemar membicarakan, membuka dan membeberkan kesalahan orang lain.

Karena itu, berusahalah menutupi kesalahan orang lain, semoga Allah juga tutupi kesalahan kita. Membiacarakan kesalahan orang lain, secara tidak langsung telah menampakkan kejelekan kita sendiri. Jika ingat kesalahan orang lain, ingatlah pula, kita pasti pernah berbuat salah.

Suatu waktu, saya menemani rombongan masturah dari Bangladesh. Sebagai tuan rumah, pastilah kita berusaha melayani mereka seba...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Menghiasi Diri dengan Sifat Malu



Pada umumnya, wanita itu memiliki berkarakter pemalu, dan perasaannya sangat halus. Akan tetapi,  banyak wanita yang kehilangan sifat malunya disebabkan pengaruh suasana lingkungan dan pergaulan. 

Namun malu yang maksudkan di sini adalah malu bermaksiat kepada Allah. Dan muslimah yang senantiasa berusaha dalam naungan cahaya hidayah dan iman, sifat malunya akan menjelma dengan cara yang memesona. Semakin kuat iman dan semakin paham ajaran Islam, perasaannya semakin peka dan semakin malu melakukan hal-hal buruk dan maksiat. Sehingga ia akan berpikir dan menimbang jika ingin berbuat dan berkata sesuatu. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh teladan yang sempurna dalam memiliki sifat malu, seperti yang dikatakan Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah sangat pemalu daripada seorang gadis yang berada dalam pingitan. Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami melihatnya dari wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Malu juga merupakan salah satu cabang iman.
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh satu sampai tujuh puluh sembilan, atau eman puluh satu sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘laa ilaaha illallah,’ dan yang paling bawah adalah menyingkirkan penyakit dari jalanan, dan malu itu adalah cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Putri Syuaib adalah salah satu contoh pesona perempuan salehah. Kecantikan yang diperlihatkan putri Syuaib, kelak diabadikan dalam Al-Qur’an.

 “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesugguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan, sebagai imbalan atas (kebaikan)mu, memberi minum ternak kami. …” (QS. Al-Qashash: 25)

Malu putri Syuaib bukanlah malu tersipu seorang wanita kepada laki-laki, tetapi ia malu kepada Allah karena harus mendekati seorang laki-laki yang bukan mahram dan asing. 

Muslimah yang menghiasi dirinya dengan sifat malu ini, tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan wanita Barat yang sudah tidak memiliki rasa malu sedikit. Hiasilah diri dengan sifat malu karena sifat ini merupakan pesona tesendiri dan ciri khas muslimah yang senantiasa mereguk cahaya iman dan ilmu ajaran-ajaran Islam.

“Malu itu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Muslim)



  Pada umumnya, wanita itu memiliki berkarakter pemalu, dan perasaannya sangat halus. Akan tetapi,  banyak wanita yang kehilang...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Ummu Fadhl, ibunda Abdullah bin Abbas


Mungkin hampir semua muslim mengenal kemuliaan keturunan dan akhlak, serta keberanian Al-Abbas bin Muthallib. Namun, sangat sedikit mengetahui siapakah perempuan yang dipercaya mendampingi sosok mulia dan pemberani tersebut. Mungkin hampir semua orang kenal Abdullan bin Abbas, ahli tafsir dan hafal Qur’an, serta fakih dalam bidang-bidang ilmu lainnya. Namun, sangat sedikit yang tahu siapakah ibunya.
Dia adalah Lubabah binti Harits, atau biasa dipanggil Ummul Fadhl binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha, perempuan yang dipercaya mendampingi paman Rasulullah, Abbas bin Muthallib dan ibu dari Abdullah bin

Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Sosok mukminah yang agung, cerdas dan permberani. Ummul Fadhl adalah saudara ummul mukminin, Maimunah radhiyallahu ‘anha. 

Pada waktu perang Badar, peperangan berakhir dengan kekalahan pada pihak kaum musyrikin. Ummul Fadhl memerintahkan anak-anak dan pembantunya agar menyembunyikan berita gembira ini dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan orang-orang musyrik yang memendam kebencian dan dendam terhadap kaum muslimin. 

Sayangnya, Abu Rafi’ tak kuasa menyembunyikan kegembiraan itu sehingga ia dihajar habis-habisan oleh Abu Lahab yang sedang kalap dan menumpahkan segala kekesalannya.
Ketika Ummul Fadhl mengetahui apa yang dilakukan Abu Lahab terhadap pembantunya, dia bangkit seperti singa betina. Sambil menghampiri Abu Lahab, dia berseru, “Engkau menganggapnya lemah jika tidak ada tuannya.” Seketika ummul Fadhl memukul Abu Lahab dengan menggunakan tiang penyangga Ka’bah, hingga menimbulkan luka yang menganga dan menyebabkan kematiannya. Setelah kejadian itu, Abu Lahab hanya bertahan hidup selama tujuh hari. Ada yang meriwayatkan, luka itu membusuk, hingga Abu Lahab dijauhi oleh keluarganya karena tak tahan baunya. 

Katika para sahabat dan sahabiyah hijrah ke Madinah,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abbas bin Muthallib tetap tinggal di Makkah karena beberapa urusan. Sehingga Ummul Fadhl hijrah ke Madinah hanya bersama anak-anaknya. Ummul Fadhl menghabiskan hari-harinya di negeri orang tanpa suami dengan sabar dan mengisinya dengan memperbanyak shalat, dzikir dan puasa. Abdullah bin Abbas, putranya yang paling besar, dia wakafkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Hari-hari Abdullah bin Abbas senantiasa menyertai Rasulullah  dan menimba ilmu langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Ummu Fadhl mungkin tak pernah berpikir, kalau suatu saat sejarah menyediakan untuk dirinya sebagai seorang ibu yang memiliki putra ulama ummat Islam serta ahli tafsir Al-Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Referensi : Jatidiri Wanita Muslimah dan 66 Muslimah pengukir sejarah

  Mungkin hampir semua muslim mengenal kemuliaan keturunan dan akhlak, serta keberanian Al-Abbas bin Muthallib. Namun, sangat sediki...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Calon Penghuni Surga




Sahabat cahaya akhwat, marilah kita mengambil ibrah dari salah satu calon penghuni surga.
Suatu hari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu  bercerita,  “Kami sedang dudu-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Saat ini akan muncul di hadapan salah seorang penghuni surga.” Maka  muncullah  seorang   sahabat Anshar yang janggutnya masih meneteskan air bekas wudhu. Ia menggantungkan kedua sandalnya  di tangan  kirinya.  Esok harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal yang sama.  Maka muncullah laki-laki yang sama seperti pertama kali. Pada hari ketiga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengatakan  hal  yang  sama  juga. Maka muncullah  laki-laki  dengan  keadaan yang sama seperti pertama kali. 

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri telah pergi. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu menyusul sahabat Anshar  tersebut, lalu berkata, “Sesungguhnya aku berselisih dengan ayahku dan aku bersumpah tidak akan menemuinya   di rumah  selama  tiga hari.  Kalau  boleh,  aku  akan  menginap di rumahmu  selama tiga hari itu.”    Ia menjawab,  “Boleh.”  

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Maka  Abdullah  bercerita bahwa ia menginap di rumahnya selama tiga hari tersebut.  Ia melihat sahabat Anshar tersebut tidak melakukan shalat malam sedikit pun, hanya saja bila ia terbangun dan gelisah di atas tempat tidurnya, ia berzikir menyebut Allah ‘Azza wa jalla dan bertakbir sampai ia bangun untuk shalat subuh.” Abdullah berkata, “Selain itu aku  juga tidak mendengarnya berbicara  kecuali  kebaikan  semata.  Ketiga hari telah  lewat  tiga  hari dan aku nyaris  meremehkan  amalannya,  aku  berkata,  “Wahai  hamba Allah! Sebenarnya antara aku dan ayahku tidak ada kemarahan maupun saling mendiamkan. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  kepada kami sebanyak tiga kali, “Akan muncul di hadapan kalian salah seorang penghuni surga.”  Maka  muncullah  engkau  sebanyak  tiga  kali juga. Aku pun ingin  menginap  di rumahmu  dan  melihat  apakah   amalanmu sehingga aku bisa mencontohmu. Akan tetapi aku lihat engkau tidak mengerjakan banyak amalan.  Kalau  begitu  apakah  yang  membuatmu  mencapai  derajat  seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”  

Ia menjawab, “Amalanku hanyalah seperti yang engkau lihat.”  Ketika aku berbalik hendak pergi, ia memanggilku dan berkata, “Amalanku hanyalah seperti yang telah engkau lihat. Hanya saja aku tidak  menyimpan  dendam  dalam  diriku kepada muslim yang lain sedikitpun dan tidak merasa dengki kepada siapa pun terhadap nikmat yang Allah berikan kepadanya.  Maka Abdullah berkata, “Perkara inilah yang telah menyampaikanmu (kederajat itu) dan perkara ini pulalah yang kami tidak mampu.”*

Memaafkan, berlapang dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti memang bukanlah yang gampang, tetapi dengan kesadaran kita dan dengan niat mencari rida Allah, kita bisa melakukannya. In sya Allah.


*H.r. Ahmad – Munthokhab Ahadits


Sahabat cahaya akhwat, marilah kita mengambil ibrah dari salah satu calon penghuni surga. Suatu hari Anas bin Malik radhiyallah...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Tugas Dakwah



-          Dakwah adalah kerja ummat
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS. Yusuf: 108)
-          Tugas kita adalah sempurnakan dakwah, yang memberi hidayah adalah Allah. Nuh berdakwah siang dan malam selama 90 tahun. Dan tetap berdakwah, meski kaumnya menutup telinga mereka.

Namun, semakin besar pengorbanan dan tertib dengan usul-usul dakwah maka hidayah akan tercurah.
-          Dengan dakwah, Allah akan selamatkan kaum muslimin dan diberi keberkahan, sebagaimana Allah selamat Nuh dan kaumnya yang beriman, lalu ditempatkan di tanah yang penuh berkah.


“Dan apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas kapal, maka ucapkanlah, “Segala puji Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim. Dan berdoalah, “Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-sebaik pemberi tempat.” (QS. Al-Mu’minun: 28)


-          Dengan dakwah, Allah selamatkan dari makar setan. Sebagaimana Rasulullah dan para sahabat berdakwah, maka mereka terselamat dari makar-makar setan.

“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)
-          Dengan dakwah, akan ada kekuatan hati. Ketika Musa dan kaum terhimpit antara lautan dan pasukan Fir’aun, Musa berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberiku petunjuk.”(QS. Asy-Syuara: 62)
-          Dengan Dakwah, Allah akan sempurnakan keperluan kita.
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
-          Maksud dakwah adalah untuk membesarkan Allah di atas segala-galanya. Sesuai dengan kehendak Allah serta cara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
-          Doa di jalan dakwah sangat mustajab. Mintalah hidayah untuk seluruh alam karena hidayah sumber kebahagiaan manusia. Dan berdoalah, agar istikamah dalam usaha dakwah.
-          Jika seseorang mukmin memilih jalan selain jalan dakwah, maka Allah akan tarik pertolongannya.
“Tidakkah kamu memperhatikan, orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?” (QS. Ibrahim: 28)
-          Pangkal dari semua itu adalah kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai kaum muslimin dalam mengemban usaha dakwah dan risau terhadap kondisi ummat.
-          Kita diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, bukan sekadar ahli dunia yang bekerja, beranak, dan memenuhi segala kebutuhan biologis dan kemauan semata.

“Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun : 115)

-          Seorang ulama (yang tidak cakap berbicara di depan orang banyak), beliau hanya bisa berdakwah dengan tulisan. Namun dengan kesadaran yang tinggi bahwa dakwah lebih efektif dengan lisan bilhikmah, face to face, heart to heart, akhirnya beliau didik anak-anak beliau agar bisa berdakwah dengan bil lisan dengan ilmu (bashirah) dan hikmah.  

* Bayan ba’da Shubuh Jum’at 23-10-2-15, di Nizamuddin.
*ini hanyalah catatan bebas saat menyimak bayan dari seorang masyaekh, yang diterjemahkan dalah bahasa Melayu.
Karena itu tidak mungkin bisa mencatat keseluruhannya dan mencatat hanyalah berdasarkan hasil dari kepahaman apa yang di dengar. Karena itu, jika ada salahnya, itu dari saya, bukan dari siapa yang menyampaikan atau menerjemah.

-           Dakwah adalah kerja ummat “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (kamu)...
El Nurien