Menu
Cahaya Akhwat

Mengapa Hanya Muslim India?

#CAHYA


Mengapa Hanya Muslim India?

Pagi Jum’at Pondok Tahfiz Darul Qalam putri selalu mengadakan tausiyah yang dibawakan oleh ustadzah yang biasa dipangil Ustadzah Aisyah. Beberapa minggu terakhir Ustadzah Aisyah mengajak santriwati shalat berjamaah dua rakaat untuk mendoakan kaum muslimin yang tertindas dan kesulitan di berbagai belahan dunia.

 Setelah selesai berdoa, Ustadzah Aisyah kembali berbalik menghadap santriwati. Sejenak dia menatap wajah-wajah santriwati yang masih memakai mukena. Luasnya aula dan banyak santriwati tak membuatnya kesulitan mencari seseorang. Dia tahu betul santriwati sekaligus sahabatnya tersebut lebih suka memilih tempat di sudut-sudut. 

“Cahya, kemarilah!” 

Pemilik nama tersebut seketika terkejut. Dia meringis ketika menyadari seluruh mata santri kini tertuju padanya. Dia tak suka menjadi bahan sorotan. Sesaat Cahya kesal kenapa Ustadzah Aisyah memangggilnya, tetapi tak mungkin dia berani protes apalagi untuk memenuhi panggilan putri semata wayang dari pemilik sekaligus pengasuh pondok tahfiz tempat dia menghafal dan mengabdi.

“Inggih, Ustadzah.” 

Ustadzah Aisyah tersenyum geli Cahya berjalan memecah lautan shaf santriwati dengan wajah meringis. Setengah tahun rasanya cukup bagi Aisyah untuk mengenali Cahya. Cahya salah satu santriwati yang menjadi khadim di keluarganya. Abinya memberikan keringanan spp juga biaya makan khusus santriwati tidak mampu dengan berkhadim di kediaman keluarga kiyai.

 Biasanya mereka didaftarkan oleh keluarganya atau mendaftar sendiri, tetapi berbeda dengan Cahya, Ustadzah Aisyah sendiri merekrut Cahya. Ustadzah Aisyah melihat pribadi unik dalam diri dalam Cahya. Orangnya suka menyendiri dan terlihat tidak peduli dengan sekeliling tetapi ringan tangan ketika dia melihat ada orang yang memerlukan bantuan.
Cahya hanya setahun lebih tinggal di pondok tapi sepertinya Cahya memiliki pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an di atas rata-rata santriwati lainnya. Dibanding sebagai khadim, Aisyah lebih suka memandang Cahya sebagai sahabatnya. Lagipula umur mereka tidak terlalu jauh. 

Ustadzah Aisyah memahami mengapa santrinya tidak begitu banyak memahami ayat-ayat yang dihafal karena memang abinya memberlakukan hanya fokus kepada menghafal. Untuk mempelajari tafsir dan kitab lainnya nanti, pada jenjang berikutnya setelah dinyatakan lulus tes hafal 30 juzz. Itupun harus melihat kondisi kemampuan santri. Jika tidak memungkinkan menghafal lagi, maka akan difokuskan untuk mempelajari kitab. Sedangkan Cahya, dia seperti dapat melihat ayat-ayat Al-Qur’an dalam setiap langkahnya beberapa bulan terakhir. 

 Cahya duduk di samping Ustadzah Aisyah dengan wajah menunduk. 

“Seperti yang kita tahu, hari ini kita shalat mendoakan muslim India tertindas. Dan anti juga pasti tahu bahwa Allah menyuruh kita peduli satu sama lain. Kita tidak bisa diam saja jika melihat saudara kita tertindas atau mengalami kesulitan. Kita harus membantunya, setidaknya dengan doa seperti yang kita lakukan hari ini. Cahya, ana bertanya pada anti, apakah anti tahu atau melihat ada ayat Al-Qur’an yang menyinggung kepedulian ini.”

Cahya terdiam. Pikiran masih saja dikuasai kesal oleh sahabatnya, lalu ditanyakan hal seperti itu. Andai bukan anak kyai, entah apa yang dilakukannya. 

“Afwan, Ustadzah. Ana tidak tahu,” jawab jujur Cahya. Dalam hati ia merutuki, kenapa Ustadzah Aisyah menanyakan hal itu kepadanya, padahal dia bukan santri kitab? 

“Cobalah ingat-ingat lagi, barangkali ada yang terlewatkan!”

Cahya memejamkan mata. Ia tahu betul Ustadzah Aisyah tipe tidak mudah menyerah. Dia harus segera menemukan ayat tersebut sebatas dalam hafalannya. Dia memang suka membaca tafsir di sela-sela menghafalnya, tapi tidak semua yang bisa dia kuasai atau memang dia tidak begitu peduli dengan orang lain sehingga meski telah menghafalnya, ayat tersebut tidak menyentuhnya? Cahya terus memutar otaknya sambil berdoa agar diingatkan, lalu bisa menghilang dari banyaknya tatapan santriwati.
Cahya mengembuskan napasnya pasrah.

 “Entahlah, Ustadzah. Ana sudah berusaha mengingatnya tapi hanya terpikir satu, dan ana rasa itu tidak cocok dengan pertanyaan Ustadzah.”

“Tak apa. Coba katakanlah!”
Setelah ta’awudz, Cahya membaca ayat 50 dari surah Al-A’raf, 
“"ونادى أصْحٰب النّار أصحٰب الجنّة أنْ أفيْضُ عليْنا من الماء أو رزقكم الله ۚقالوا اِنّ الله حرّمهما الله على الكافرين

Cahya panik ketika mengangkat wajahnya melihat air mata Ustadzah Aisyah bercucuran. Ia segera meraih tangan Ustadzah Aisyah dan menciumnya. “Maafkan ana, Ustadzah.”

Ustadzah Aisyah tertawa ringan sambil mengusap mukanya. “Anti tidak salah, Cahya. Ayat yang anti baca menyadarkan ana.”
Cahya mengangkat wajahnya. Ustadzah Aisyah memalingkan wajahnya, menghadap kerumunan santriwati yang menatap mereka penuh tanda tanya. 

“Tahukah kalian arti ayat yang dibaca Cahya?”

Sebagian menjawab ya, sebagian mengaku tidak tahu. 

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga, ‘limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Mereka (penghuni surga) menjawab, ‘sesungguh Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.

"Begitulah kondisi penduduk neraka, teman-teman.” Ustadzah Aisyah lebih suka memanggil santriwati dengan kata teman dengan alasan karena belum menikah. “Mereka memanggil penghuni surga minta minuman atau makanan yang ada di surga. Tetapi ahli surga tidak berbuat apa-apa karena itu diharamkan untuk penghuninya neraka. 
Ana menangis karena terbayang mereka datang kepada ana, tetapi ana tak bisa memberi. Ana lihat penderitaan mereka, tapi ana tak bisa membantu. Lebih menyedihkan lagi bagaimana kalau yang datang itu salah satu keluarga atau tetangga ana.” Ustadzah ana kembali sesenggukan. Ia meraih tisu yang tak jauh dari lalu memencetkan ke hidungnya.

“Memang ayat ini bukan menjelaskan tentang pentingnya kepedulian, tetapi dari ayat ini ana sadar banyak hal. Selama ini kita selalu geram ketika melihat kaum muslimin tertindas. Marah dan ingin rasanya mengutuk. Itu juga bentuk kepedulian kita sebagai manusia punya naluri. Kita sedih jika melihat orang lain kesusahan, tetapi kenapa kepedulian hanya sebatas kepada mereka. Padahal di dunia ini banyak umat manusia yang lalai, lupa sama Allah, tentu mereka juga memerlukan doa kita. Orang yang tertindas, jika mereka sabar dan selalu memegang keyakinan mereka, in sya Allah, mereka syahid dan masuk surga. Orang sakit yang sabar, in sya Allah akan mendapatkan ampunan Allah. Orang kesusahan yang sabar, in sya Allah, akan mendapat pertolongan Allah, entah melalui kita atau orang lain. Tetapi orang yang lalai dan bermaksiat kepada Allah, jika mereka meninggal pada saat itu akan masuk neraka. Di kala manusia banyak mengutuk dan menganggap mereka sebagai biang bencana, siapa yang peduli kepada mereka?” ucap Ustadzah terisak. 

“Kita bisanya menyalahkan, tanpa berpikir untuk mengajak mereka kepada hidayah. Lalu kita berpuas diri karena merasa di atas hidayah. Ke mana kepedulian kita sebagai hamba Allah kepada makhluk ciptaan Allah lainnya? Seharusnya kita mencintai mereka sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, ‘tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.’ Kita memang dilarang membela atau bahkan menoleran kemaksiatan, akan tetapi setidaknya kita mengingatkan, mengajak atau mendoakan mereka agar sadar dan kembali ke jalan hidayah.

Mari kembali kita berdoa untuk tetangga, keluarga, mereka yang tertidur tanpa shalat, mereka yang tertawa dalam kemaksiatan, anak-anak yang kehilangan arah hidup, bahkan mereka yang kekenyangan di dalam gedongan dengan harta rakyat, penebar janji atau siapapun di negeri bahkan di dunia agar mereka mendapat hidayah.”

Ustadzah Aisyah mengangkat kedua tangannya diikuti oleh ratusan santriwati. Ustadzah Aisyah berdoa dengan terisak-isak, menularkan kepada santriwati. Air mata Cahya semakin deras ketika teringat masa lalunya. Lalu Allah mengatur jalan kebaikan untuknya dan bahagia atas hal itu, tetapi kenapa ia lupa untuk menebarkan kebahagiaan itu?

Setelah selesai berdoa Ustadzah Aisya berkata,  "teman-teman, berdoa satu kali satu minggu saja tidak cukup.  Sisipkanlah mereka dalam setiap doamu. "

#edukasi menghafal Al-Qur'an
#membersamai Al-Qur'an
#mencetak generasi qur'ani

#CAHYA Mengapa Hanya Muslim India? Pagi Jum’at Pondok Tahfiz Darul Qalam putri selalu mengadakan tausiyah yang dibawakan oleh us...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Menghadapi Corona

Menghadapi Corona 

Sebelumnya, saya bercerita dulu. Entah kenapa, tengah malam saya terbangun. Dan karena malas bangun, jadilah tangan meraih ponsel dan buka fb. Hampir seluruh isi wall fb saya menyinggung si corona, dengan beragam pandangan. Ada yang ngasih kabar korban virus corona bertambah, ada yang kasih solusi dan ada juga yang bernada menyalahkan pihak-pihak tertentu. 
Dari sini saya mencari-cari, kiranya di hafalan saya terbatas  menemuka  cara atau obat tertentu untuk mengatasi, obat tertentu wabah corona. Di kepala saya hanya menemukan dua jenis obat yang khasiatnya bersifat universal, yaitu madu dan air. Lalu teruslah otak saya berputar sambil mengingat kejadian-kejadian yang pernah saya alami. 

Saya mempunyai riwayat penyakit di bagian paru-paru, dan meski sudah diobati, tetap meninggalkan bekas pada organ tersebut. Alhasil, jika imun saya down, paru-paru lah yang berisiko. Berujung pada batuk yang memerlukan waktu cukup lama untuk mencapai kesembuhan. Dan sekitar bulan Februari tadi saya terserang batuk berdahak. Seminggu berlalu dengan minum herbal, obat sudah satu botol habis, batuk tetap saja tidak berkurang. Tiba-tiba saya berpikir, mungkin ada peradangan di paru-paru saya. 

Karena itu, saya mulai beralih ke infused water, yang berisi kunyit dan perasan jeruk nipis. Alhamdulillah, mulai berkurang. Lagi-lagi saya kembali tersadar, kenapa kalau sudah batuk, proses sembuhnya memerlukan waktu yang lama? Mungkin dikarenakan batuk itu melelahkan, secara otomatis membuat tubuh kelelahan dan imun semakin menurun. Kalau begitu, selain mengobati radang, saya juga harus menambah kekuatan tubuh, akhirnya saya minum dua sendok madu tambah perasan jeruk nipis. Dan hasilnya, Alhamdulillah, hanya sekitar sehari atau dua hari, Allah hilangkan batuknya. 

Dari sini, saya teringat lagi waktu mau melahirkan anak kedua. Atas usul suami, saya mencoba melakukan saran dalam buku mukjizat kesembuhan, yaitu minum madu segelas saat sudah ada tanda-tanda mau melahirkan. Hasilnya hanya beberapa menit, bayi saya keluar. Hanya beberapa menit dan tanpa memerlukan tenaga ekstra. 

Dari sini saya teringat lagi sebuah riwayat yang menceritakan seorang sahabat mengeluhkan saudaranya sakit perut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh meminumkan madu pada saudara yang sakit. Sahabat tersebut melakukan apa yang disuruh Rasulullah. Tetapi beberapa saat kemudian, sahabat tadi datang lagi mengeluhkan saudaranya yang masih kesakitan. Rasulullah menyuruh lagi minum madu. Sahabat itu pergi, lalu datang lagi dengan keluhan, Rasulullah menyuruh lagi minum madu, sampai akhirnya sahabat tadi datang mengabarkan bahwa saudaranya sudah sembuh. 

Dikaitkan dengan minum madu segelas sebelum melahirkan, maka di sini menyimpulkan ada kalanya situasi memerlukan penanganan dengan dosis booster, mungkin serupa halnya dengan kemoterapi bagi penyintas kanker. 

Kini kita beralih ke virus corona. 
Apapun namanya, pada dasarnya virus itu makhluk Allah yang sangat unik dan canggih.

Virus adalah unit produksi paling cerdas di alam semesta, di mana ia selalu bisa mengoptimalkan manfaat dari lingkungan tempatnya hidupnya. Modal terbatas, tetapi menghasilkan profit maksimal.(Buku Cara Hidup Sehat Islami karya Tauhid Nur Azhar)  
Apalah lagi virus corona, yang kedengarannya saja sudah sangat canggih. 

Sejauh ini, tidak ada obat untuk virus. Tetapi, Allah sudah sediakan sistem canggih alami dalam tubuh kita, 
yaitu sistem imun atau sistem kekebalan tubuh bagaikan sebuah orchestra yang tersetel, dirancang untuk mempertahankan manusia dari pengaruh tidak sehat yang datang dari dunia di sekitar kita. 

Salah satu fungsi sistem imun adalah menghancurkan dan menghilang mikroorganisme atau substansi asing, semacam bakteri, virus atau parasit yang masuk ke dalam tubuh. (Buku Cara Hidup Sehat Islami karya Tauhid Nur Azhar) 
 
Bertolak dari sini, diri pribadi memberi beberapa tips untuk menghadapi wabah ini:
- Sediakan madu di rumah. 
Untuk memperkuat daya tahan tubuh, minumlah madu (bisa ditambah perasan jeruk nipis), minimal dua kali sehari dengan takaran  satu atau dua sendok madu. Satu kali  setelah shalat shubuh, habis shalat tahajud lebih bagus lagi, setidaknya pagi hari saat perut masih belum terisi makanan dan sebelum tidur. Mau minum lebih sering dan lebih banyak juga silakan. Meski  sampai dengan ukuran satu gelas, tidak akan membuat kita mati, kecuali memang sudah waktunya tiba. 

Jika mengalami batuk, segera minumlah madu dengan perasan jeruk nipis dan air hangat (3x sehari, setelah shalat Subuh, Zuhur dan Isya) dan pastikan istirahat yang cukup. Dalam situasi seperti ini, sebaiknya jauhkan hp, setidaknya diminimalkan. Karena hp kadang membuat kita kurang tidur, dan mendapatkan informasi-informasi yang dapat memicu emosi negatif, pada akhirnya semakin menurunkan daya tubuh kita. Untuk berjaga-jaga, hindari kontak fisik dengan orang lain. 

Jika dalam tiga hari upaya ini tidak membuah hasil, segera cek ke tim medis. Jika dinyatakan positif, segeralah minum madu dengan dosis booster, yaitu satu gelas sekali minum, minimal satu kali sehari, tiga hari berturut-turut. Mau lebih silakan. In sya Allah, tidak akan mati, kecuali atas kehendak Allah. Efek samping dari minum madu, kita akan merasakan haus, lalu sering minum. Pada saat yang sama, kebutuhan air untuk tubuh telah terpenuhi. 

- Sering berwudhu. 
Kegiatan sederhana, tetapi memiliki kinerja yang luar biasa. Berwudhu bukan sekadar perkara kebersihan anggota badan, tapi juga memilki fungsi mengoptimalkan sistem imun. 

Ketika air wudhu menyentuh kulit, transfer energi berlangsung ke kulit, di mana sebagiannya mengendap dan informasinya diteruskan oleh sel-sel saraf ke otak. Akhirnya, proses relaksasi pun terjadi. Otot-otot yang tegang, permukaan kulit yang terhimpit, leher yang kaku, dan sebagainya, seakan diistirahatkan selama berwudhu. Kondisi ini kemudian dioptimasi melalui prosesi shalat dengan gerakan yang lebih kompleks. (Buku Cara Hidup Sehat Islami karya Tauhid Nur Azhar)  

Jadi jadikanlah wudhu bukan sekadar kegiatan cuci tangan, dan anggota lain, tapi  jadikan  awal dari prosesi relaksasi rohani atau jiwa. Jiwa yang sehat, lapang dada, legowo, ikhlas, syukur, dapat mengoptimasi sistem imu. Karena itu, setelah berwudhu (selain untuk shalat wajib), alangkah baiknya dilanjutkan dengan shalat Dhuha atau sunnah lainnya dan membaca Al-Qur’an. 
- Manajemen energi dan emosi. 
Hindari menggunakan energi yang tidak terlalu penting, seperti jalan-jalan. Biasakan diam di rumah dengan melakukan kegiatan postif. Baringan terus juga tidak baik, dan bisa membuat sistem imun melemah. 

Emosi negatif maupun postif akan berdampak besar bagi kesehatan kita. Dan emosi muncul dari  informasi yang kita tangkap, baik dari penglihatan atau pendengaran. Karena itu, pastikan apa yang kita lihat, baca, dan dengar, hanyalah yang membawa pengaruh positif. 

- Berdoa kepada Allah, agar Allah melindungi kita, keluarga dan negara dari wabah ini. Salah satu yang cara yang paling efektif adalah mendoakan orang lain. Jadi berhentilah menjudge atau menyalahkan orang lain, tapi gunakan energi untuk mendoakan kebaikan dan kesehatan untuk orang lain. Imbasnya, malaikat juga akan mendoakan kebaikan untuk kita, dan doa malaikat pasti diijabah. 

Allahu a’lam. 

Maaf, saya tidak bisa menyertakan referensi minum madu satu gelas, karena buku mukjizat kesembuhannya tidak ketemu. Cukup lama saya mengobok-obok di kumpulan buku, tetapi tidak membuahkan hasil. Maaf. 

Saya juga hanya memberi tips, kalau mau dikerjakan silakan, tidak akan rugi minum madu. Kalau engga, it’s oke.  
Terima kasih. 
Mari saling menularkan energi positif. 

Menghadapi Corona  Sebelumnya, saya bercerita dulu. Entah kenapa, tengah malam saya terbangun. Dan karena malas bangun, jadilah ...
El Nurien
Cahaya Akhwat

Allah Tahu Kok Kondisi Kita!

#CAHYA

Allah Tahu kok Kondisi Kita! 

Cahya mendekap kedua lututnya di salah satu sudut tersembunyi di pondok tahfiz tempat dia menghafal. Dia menyembunyikan wajahnya di atas lutut. Ingin menangis, tapi tak ada air mata yang berhasil dia keluarkan. Dua bulan sudah hafalan terakhir yang dia setorkan kepada Ustadzah Salwa, tetapi tak kunjung bisa ikut tes dua puluh juzz dalam satu halaqah. Otaknya semakin kusut jika mengingat berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan ibunya yang berstatus seorang single parent. 

Semua itu bermula dikarenakan dia terlalu bersemangat menghafal. Semakin banyak hafalannya, semakin mudah mengahafal. Siapa sangka dia terjebak dalam permasalahan mengingat ayat-ayat mutasyabbihat, ditambah dua minggu sakit membuat hafalannya semakin kacau. Dua purnama sudah. Haruskah ia mundur saja? 

“Cahya!” 

Sontak gadis belia itu terkejut. 

“Di cari-cari enggak ketemu, eh di sini rupanya,” ucap Yumna, salah satu sahabatnya. 

“Ada apa?”

“Dicari Ustadzah Salwa.”

Deg. Dada Cahya berdegup hebat. Ustadzah Salwa mencarinya. Pasti memintanya tes dua puluh juzz. Adakah alasan selain itu Ustadzah Salwa memanggilnya? Ia tidak menemukan satu alasanpun. 

“Baiklah. Ana akan ke sana,” ucap Cahya pasrah. 
**

“Apa sudah ada jadwalmu untuk tes dua puluh juzz?” tanya Ustadzah Salwa lembut.

“Belum, Ustadzah,” sahut Cahya tanpa berani mengangkat wajah. 

“Kenapa?”

“Belum lancar, Ustadzah.”

“Ustadzah rasa dua bulan itu sudah lebih dari cukup untuk mengulang kalau dilihat dari setoranmu kemarin. Dan ustadzah lihat juga kamu rajin mengulangnya. Lalu kenapa jadi belum lancar?” 

Cahya tak mampu bersuara. 

“Katakanlah! Berangkali ustadzah dapat membantu permasalahanmu.”

“Cahya bermasalah di ayat-ayat mutsyabbihat dan di ujung-ujung ayat, Ustadzah.” 

Ustadzah Salwa tersenyum tipis. Ayat-ayat mutasyabbihat dan ujung-ujung ayat memang salah satu kendala bagi sebagian penghafal Al-Qur’an. Ustadzah Salwa meraih Al-Qur’an di atas rehal yang tak jauh darinya. Dia membuka mushaf secara sembarang, lalu terbuka surah An-Nisa dari halaman 80-81. Telunjuknya menunjuk ayat 12 di awal pojok dari halaman 80. “Cobalah baca terjemahan ayat ini.”

“Dan bagimu suami-suamimu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dari yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”  Cahya menyudahi bacaannya. 

“Ayat ini menjelaskan tentang apa?”

“Tentang pembagian warisan yang ditinggalkan pasangannya, Ustadzah.”

“Ada yang menjadi pertanyaanmu mengenai pembagian warisan di ayat ini?” tanya Ustadzah Salwa. 

Cahya membuka mulutnya, tetapi ia urung mengungkapkan.

“Tanyakan saja. Siapa tahu ini membantumu untuk mengingat kalimat-kalimat yang mirip di ujung ayat.”

Cahya mengangkat wajahnya.  “Mengapa laki-laki dan perempuan tidak mendapatkan bagian yang sama jika pasangannya meninggal? Mengapa laki-laki seperdua, sedang perempuan hanya seperempat jika mereka mempunyai anak? Mengapa tidak disamakan saja? Bukankah jika suaminya meninggal, otomatis anak-anaknya dalam tanggungannya?”

Ustadzah Salwa tersenyum lebar mendengar rentetan pertanyaan Cahya, salah satu santrinya yang cukup kritis dan cerdas. 

“Hanya Allah yang tahu betul, Cahya,” jawab Ustadzah Salwa lembut. “Tetapi kita dapat menguak sedikit hikmah dalam aturan ini, di antaranya karena laki-laki bertanggung jawab nafkah kepada istri-istri, anak-anak dan mungkin juga ia menanggung nafkah ibu dan saudara perempuannya yang tidak mempunyai suami.  Berbeda dengan perempuan. Mengapa perempuan hanya mendapatkan separuh dari laki-laki? Di antaranya karena perempuan tidak memiliki tanggung jawab nafkah kepada keluarga. Anak-anaknya juga sudah mendapatkan hak waris dari ayahnya. Ibunya yang jika sudah janda menjadi tanggung jawab saudara laki-lakinya. Apa yang didapatkan perempuan sepenuhnya menjadi miliknya pribadinya. Nah dari sini kamu dapat mengerti kan mengapa di ujung ayat ini menggunakan kalimat ‘aliimun?”

Cahya mengangguk. “Karena Allah lebih mengetahui keadaan kita, jadi Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Tapi, Ustadzah, Cahya jadi ingat, Cahya pernah lihat video viral seorang perempuan berjilbab makan daging babi. Katanya dia tinggal di negeri mayoritas non muslim. Dia sempat berkata, ‘Allah juga tau kok, keadaan kita di sini kaya gimana?’ Jadi itu gimana, Ustadzah?”

Ustadzah Salwa mendesah keras. Dia memang tidak menonton video, tetapi dari cerita Cahya saja dia sudah sangat menyesalkan.

 Bagaimana bisa seorang perempuan berjilbab memposting sedang mengonsumsi daging babi? Sebagai seorang muslimah, dia pasti tahu umat Islam dilarang makan babi. Kalau memang keadaan memaksanya, kenapa harus dipublikasikan ke orang banyak? 

“Jadi maksud perempuan itu, Allah akan memaafkan karena keadaan mereka?” 
Cahya mengangguk ragu. 

“Sebelumnya kita membahas kalimat di ujung ayat ini dulu,” ucap Ustadzah Salwa lembut. Cahya mengangguk setuju. 

“Sekarang halimun yang artinya Maha penyantun. Kalimat ini mengisyaratkan seperti apa pun aturan dari Allah, itu sudah merupakan yang terbaik dari kebijakan dari segala Maha Mengetahui dan Maha Penyantun Allah. Allah menciptakan kita, tentu Allah lebih tahu keadaan kita dan lebih tahu yang terbaik buat kita. Allah menurunkan suatu hukum itu tidak melebihi dari batas kemampuan kita. Allah memberikan suatu kewajiban karena itu yang terbaik buat kita, dan bisa memberi mudharat bila kita meninggalkannya. Begitu juga dengan larangan, Allah melarang karena itu memberi mudharat pada kita. Nah dari sini kita dapat mengetahui betapa Allah sangat sayang dan santun kepada kita.”

Cahya menyimak tanpa berani mengedipkan mata. Dia takut ada yang terlewatkan. 

“Lalu mengenai pernyataan seperti ‘Allah tahu kok keadaan kita’, kemudian berani melanggar, itu pembenaran yang menjerumuskan kepada kebinasaan. Seharusnya dengan kalimat itu lebih menyadarkan kita bahwa apa yang Allah atur, larang, berikan maupun Allah ambil dari kita, itulah yang terbuat buat kita. Seharusnya itu membuat kita lebih taat, bukan malah menjadikan pembenaran. Kembali kepada perempuan yang di video itu, yang katanya dia tinggal di daerah mayoritas non muslim sehingga susahnya mendapatkan daging yang halal, bukankah dia bisa mengonsumsi makanan lain misalnya telor, ikan, atau sayuran?!”

Cahya kembali mengangguk.

“Sekarang kita kembali ke topik awal. Jadi kamu memahami kan, mengapa di ujung ayat ini kalimat aliimun hakim?”

“In sya Allah, Ustadzah.”

“Lalu kenapa tidak menggunakan kalimat aziizun hakim, seperti ayat lain?!”

“Karena ayat ini tidak menceritakan ke Maha Perkesaan dan ke Maha Adilan Allah, Ustadzah,” jawab Cahya setelah cukup lama berpikir. 

“Jiddan. Nanti jika kamu bertemu ayat yang di ujungnya kalimat aziizun hakim, cobalah kau pelajari intisari dari ayat itu! Ayat tersebut menceritakan tentang apa, pasti kamu akan menemukan fakta bahwa azizun hakim memang tepat untuk kalimat itu. Begitu juga dengan ayat-ayat mutasyabbihat, jika kita menemukan alasan-alasannya, in sya Allah kita akan mudah mengingatnya.”

“In Sya Allah, akan Cahya coba. Terima kasih, Ustadzah. Cahya pamit dulu.” 

**
Di luar pintu Cahya menghirup udara dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya, sejenak menatap bintang-bintang penghias langit dengan hati yang lega dan bahagia. Tehnik yang diajarkan Ustadzah Salwa tidak hanya sangat membantunya dalam menguatkan hafalan, tetapi memberi ilmu baru mengenai ayat 12 dari surah An-Nisa tersebut. Baginya mendapatkan pemahaman satu kalimat saja dalam Al-Qur’an sudah cukup membuatnya semakin semangat menghafal Al-Qur’an. 

#edukasi menghafal Al-Qur’an 
#membersamai Al-Qur’an
#mencetak generasi Qur’ani

#CAHYA Allah Tahu kok Kondisi Kita!  Cahya mendekap kedua lututnya di salah satu sudut tersembunyi di pondok tahfiz tempat dia menghafal. Di...
El Nurien