Menu
Cahaya Akhwat

Jadilah Ahlullah



 

“Ahlullah turun maqam.” Begitulah suatu hari aku mendapatkan komentar teman di salah tulisan fiksiku. Saat itu aku tak ambil pusing karena saat menghafal Al-Qur’an tak pernah berpikir bagaimana diriku di mata Allah. Memang ada sebuah riwayat menjelaskan bahwa orang yang hafal Al-Qur’an adalah ahlullah,

“Sesungguhnya Allah memiliki orang khusus (Ahliyyin) dari kalangan manusia. Mereka (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah siapakah mereka?" Beliau menjawab, “Mereka adalah Ahlu Al-Qur’an, Ahlullah dan orang khusus-Nya.” Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Ibnu Majah)

Tetapi aku tak pernah memikirkan hal itu. Aku menghafal karena Al-Qur'an milik Allah dan aku ingin memilikinya.

Belakangan komentar itu terngiang-ngiang di benakku. Terlebih lagi setelah dia meninggal dunia. Kalimat itu seakan menjadi wasiat bagiku. Dan belakangan aku menyadari bahwa itu bukan sekadar  status tapi sebuah tanggung jawab.

Membayangkannya saja rasanya tak pantas, apalagi berbangga diri menyebut sebagai ahlullah. Namun ketika kita mengambil sebuah jalan atau sebuah pencapaian, mau tak mau kita harus memikul tanggung jawab dan kepantasan. Seorang laki-laki mungkin adakalanya merasa tak pantas atau mampu menjadi seorang ayah, tetapi jika ia menginginkan seorang istri yang mendampinginya, maka mau tak mau ia harus mempersiapkan dirinya menjadi seorang ayah, baik secara kedewasaan, fisik mau pun finansial.

Begitu juga ketika memutuskan menghafal Al-Qur’an, terlepas apakah kita pantas menjadi ahlullah, mau tak mau kita harus memantaskan diri menjadi ahlullah. Beberapa hal yang harus kita lakukan sebagai “ahlullah.”

1.      Memantaskan diri.

Ahklak mulia tentu sangat harus dijaga. Terlebih menjadi hafiz kadang menjadi panutan bagi masyarakat. Satu orang hafiz berkelakuan buruk, bisa memengaruhi pandangan masyarakat tehadap hafiz lainnya. Di sisi lain, kadang ada yang selalu membenarkan apa yang dilakukan seorang hafiz (na’udzu billah min dza lik).

 

2.      Mewajibkan diri selalu menuntut ilmu

Jangan sampai sebagai seorang hafiz, tetapi sangat awam dalam hal agama. Memang kita tidak bisa menguasai seluruh ilmu, bahkan kadang seorang ulama pun memiliki keahlian di bidang tertentu, misalnya ahli fikih, ahli tasauf, dan lainnya sebagai. Setidaknya seorang hafiz, menghiasi tindak tanduknya sesuai dengan sunnah Rasulullah.

3.      Menghindari hal-hal yang sia-sia

Fitrah manusia suka bermain atau bersenang-senang sesuai dengan kecendrungan atau kebiasaan masing-masing. Di sinilah tantangan seorang hafiz Qur’an, setidaknya ia berusaha mengoptimalkan membaca Al-Qur’an, berdzikir, menuntut ilmu sehingga kesempatan untuk berbuat sia-sia semakin sedikit.

4.      Perhatikan siapa yang kausukai.

Manusia memiliki kecendrungan menggandrungi sesuatu yang disukai, baik itu berupa hiburan atau tokoh inspirasi sehingga kadang memiliki figure yang diidolakan.  Tak masalah menyukai siapa, hanya saja siapa mereka. Tak pantas ahlullah mengidolakan pengajak kebatilan, terlebih lagi jika mereka tidak menyembah Allah.

5.      Berjuang menjaga kelangsungan hidupnya Al-Qur’an di bumi

Sebagai keluarga, sudah selayaknya kita menjaga anggota keluarga lainnya misalnya seorang seorang ayah mencari nafkah, melindungi dari bahaya, menciptakan suasana nyaman di rumah juga memiliki pemikiran yang bijaksana. Begitulah juga seharusnya kita sebagai ahlullah, sudah seharusnya kita berusaha bagaimana Al-Qur’an selalu dibaca, dihafal juga diamalkan. Tentu semua itu memerlukan perhatian dan pengorbanan baik secara diri dan harta. Bagian ini yang sering luput dari perhatian seorang hafiz.

 

Kadang orang tua yang mengantarkan anak-anaknya ke pondok menghafal Al-Qur’an karena tingginya kedudukan hafiz Al-Qur’an di mata Allah dan masyarakat, membentengi diri dari dosa dan maksiat, agar langkah anak selalu sesuai petunjuk, pahala perjuangan anak yang terus mengalir kepada orang tua, seorang hafiz yang memakaikan mahkota kepada orangtuanya di ahirat kelak, atau mungkin agar anak-anaknya dapat memberi syafaat di akhirat kelak, atau keuntungan kebaikan apa pun yang pada akhirnya hanyalah untuk dirinya dan keluarganya. Tidak salah dengan semua itu, hanya saja adakah yang berpikir bahwa anak-anaknya kelak akan menjadi penerus pembawa estafit untuk membumikan Al-Qur’an? Kelak anaknya menjadi mujahid yang senantiasa memperjuangkan hak Al-Qur’an? Menjadi seorang dai yang selalu mengajak umat mengamalkan Al-Qur’an?

Hampir semua hafiz ingin tinggal di lingkungan pondok, tahfiz atau lingkungan yang hidup roh Qur’annya, hanya saja kadang alasan itu ada untuk kepentingan pribadi, di antara agar senantiasa semangat membaca, dan mengamalkan, serta hafalannya terjaga. Atau demi melangsungkan penghidupan dengan hafalannya. Tak salah dengan semua itu, meski dengan tujuan materi karena juga tak baik seorang hafiz menjadi peminta-minta. Hanya saja, dari sekian apa yang telah kita lakukan, adakah berpikir bagaimana supaya pengamalan Al-Qur’an benar-benar hidup di bumi ini? Sejauh manakah usaha kita melindungi, mencintai, merawat selayaknya begitu juga perlakuan kita terhadap anggota keluarga kita?

Bersyukurlah jika Allah menempatkanmu di pondok-pondok tahfiz Al-Qur’an, tinggal membenahi niat. Semoga saja niat kita sudah benar. Namun jangan lupa untuk melihat dunia luar, jangan hanya melihat pada pondok saja. Berapa banyak di dunia ini yang belum bisa membaca Al-Qur’an apalagi menghafal? Lihatlah berapa banyak umat Islam yang masih berprilaku bertolakbelakang dengan  nilai luhur Al-Qur’an? Setidaknya angkatlah tangan, doakan mereka.

Lalu bagaimana dengan mereka yang jauh dari lingkungan pondok, seperti saya ini yang hanya sebagai ibu rumah tangga? Berpikirlah, pasti ada potensi kita untuk menjaga kelangsungan Al-Qur’an. Bagi mereka suka bergaul, sering-seringlah menyampaikan keindahan-keindahan atau keuntungan Al-Qur’an seperti kita mempromosikan barang. Jika bisa menulis, meski hanya menulis status di medsos, gunakan untuk menghidupkan suasana Al-Qur’an. Jika memiliki basic mengajar, ajarilah anak-anak juga anak-anak di sekitar membaca dan memahami Al-Qur’an. Jika mempunyai kelebihan harta, sisihkan harta kita untuk seseorang, badan atau yayasan dalam pengembangan Al-Qur’an. Hantarlah anak-anak ke tahfiz yang kelak menjadi pelita dengan cahaya Al-Qur’an. Didiklah anak-anak agar menjadi da’i yang selalu mengajak kepada pengamalan Al-Qur’an. Bawalah mereka jalan-jalan, perlihatkan kepada mereka, sudah berapa kemaksiatan di muka bumi ini, tanamkan kepedulian mereka terhadap agama umat ini. Setidaknya selalu berdoa agar Allah mendatangkan hidayah dan menghidupkan suasana Al-Qur’an, baik dari segi bacaan atau pengamalan.

Singkatnya pasti ada potensi bagi kita untuk menjaga dan merawat Al-Qur’an di bumi ini, semuanya tergantung pada kita. Apakah kita mau menaruh perhatian dan pengorbanan agar Islam hidup dalam diri kita, keluarga juga seluruh alam.


Siapa pun pantas menjadi Ahlullah, meski hafalannya tak bisa lebih dari juzz Amma, selama dia terus berusaha menghafal dan memantaskan diri.  

Sebaliknya, meski hafalannya sempurna, tapi tak peduli halal haram, apakah pantas disebut Ahlullah?


Semoga Allah memilih kita menjadi seorang da’i, mengaruniakan banyak amal shaleh,  melindungi dari harta dan perbuatan yang haram, serta pantas disebut Ahlullah. 

 

Al-Qur’an bagai matahari

Cahayanya mampu menembus dari timur ke barat

Maka sungguh zalim, jika hanya kau simpan di rumahmu

Lebih zalim lagi, jika mengabaikan cahaya ini demi materi

Adakah keegoisan melebihi dari pada ini?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  “Ahlullah turun maqam.” Begitulah suatu hari aku mendapatkan komentar teman di salah tulisan fiksiku. Saat itu aku tak ambil pusing ka...
El Nurien
Cahaya Akhwat

BAHAGIA ITU TERLETAK PADA MATA HATI


 


Sebenarnya cerita ini lama sekali, namun karena banyak memberiku hikmah hingga sampai sekarang masih berbekas. Hari itu seseorang menceritakan saudaranya yang sangat bersedih karena usahanya gagal, padahal modalnya hanya lima puluh ribu dari hutang kepada orang lain. Memang saat itu lima puluh ribu rupiah sesuatu yang sangat besar.

Aku tercenung mendengar cerita itu, karena baru saja kami mengalami musibah yang menghanyutkan jutaan rupiah dan semuanya juga modal dari orang lain dan anehnya tak ada air mata saat itu. Aku bertanya-tanya pada diri, apakah aku termasuk orang yang sombong atau tak bertanggung jawab dengan harta orang lain?

Kejadian itu terjadi pada waktu kami masih tinggal di daerah pegunungan dan di depan gubuk kami ada sebuah kolam lumayan besar, pastinya untuk mengisi bibit dan perlengkapan lain menghabiskan jutaan rupiah. Qudratullah, pada suatu hari siang Allah datangkan hujan yang sangat lebat, air datang dari tiga arah yang masuk ke kolam. Air bah dari gunung, sungai, dan hujan.

Aku sudah berusaha mengantipasi penyelamatan, namun baru saja mencelupkan kaki, aku berpikir bagaimana kalau aku kenapa-napa, akhirnya aku mengurungkan niat mengingat anakku yang masih kecil.

Kebetulan saat itu berhalangan, jadi hanya bisa meminta pertolongan Allah dengan berwasilah membaca Surat Yasin. Setelah membaca surat Yasin, kami tertidur dan baru terbangun pada pagi hari. Mungkin juga karena tidak memikirkan shalat, jadi tidurnya nyenyak sekali. Dan mungkin juga itu sakinah yang Allah turunkan kepada kami berdua, sehingga hilang ketakutan dalam diri kami.

Ketika bangun di pagi hari aku langsung keluar memeriksa kolam. Dan Qudratullah kolam itu sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Aku hanya bisa bertakbir saat itu. Mengagumi semua scenario di sore itu. Allah beri ketenangan di hati-hati kami, padahal di hutan itu hanya aku dan anakku yang masih kecil. Yang lebih mengagumkan, kronologi hanyutnya ikan-ikan kami.

Karena air datang dari tiga arah, jadi aku mengira kolam kami meluap dan semua penghuninya akan hanyut. Ternyata, Allah mengambil harta kami dengan cara tidak kami duga. Pipa pembuangan air kolam ternyata tertutup daun-daun, mungkin karena air tidak dapat keluar sementara air terus saja masuk dari tiga arah yang menyebabkan dinding kolam yang menjadi pembatas dengan sungai menjadi jebol – dan qudratullah – lewat sinilah semuanya penghuninya dapat membebaskan diri.

Saat itu aku tak bisa memikirkan berapa kerugian yang didapat dan bagaimana cara melunasi hutangnya? Pikiranku hanya sibuk dengan scenario-skenario Allah yang menakjubkan. Allah mengambil harta titipan dengan cara yang sedikit pun tidak pernah terpikirkan. Dan kekagumanku pada scenario Allah semakin bertambah ketika keadaan di sekitarnya. Kolam yang kemarin banyak rame dengan cuap-cuap ikan sekarang sunyi, bahkan kolamnya juga hampir kering. Aroma bekas hujan masih tercium, udara yang masih dingin, bumi yang masih basah, tanah yang terkikis, embun yang masih saja menetes pada daun, suara-suara binatang-binatang di musim hujan masih saja berbunyi, serta pohon durian tinggi dan besar tumbang tak jauh dari rumah kami. Satu lagi yang harus kusyukuri, arah tumbangnya tidak mengenai ke arah rumah kami.

Lebih mengagumkan lagi, bagaimana aku bisa melewati suasana seperti itu? Kenapa tidak ada rasa takut sedikitpun? Seandainya saja saat itu, aku berpikir suami, orang tua atau siapa pun yang dapat diandalkan, mungkin aku akan diserang panik. 

Bagaimana aku dan anakku bisa tertidur dalam situasi seperti itu? Petir guntur yang bersahutan, angin lebat, hujan deras, bahkan jika mengingat situasi kolam saja saat itu sudah membuatku panik. Satu hal lagi harus disyukuri dari tidur, aku tidak mendengar dentuman pohon durian yang tumbang. Aku tak bisa membayang sekeras apa bunyinya menghantam bunyi dengan pohon sebebar itu. Tapi mungkin juga karena tertutupi bunyi hujan, angin, petir dan guntur.

Bohong jika tidak ada rasa sedih melihat kondisi kolam yang sudah tidak bernyawa, tapi Alhamdulillah, Allah sudah mengalihkan perhatianku pada kehebatan skenarionya. Bahkan pagi itu suamiku sudah pulang. Sepertinya dia pun cukup syok melihat kondisi kolam itu. Untuk menghiburnya, aku mengingatkan bahwa itu sudah ketentuan Allah dan jika sabar dan ikhlas, Allah akan ganti dengan yang lebih baik dan besar, entah di dunia ini atau di akhirat nanti.

Meski kejadian itu sudah puluhan tahun, aku masih saja mengingatnya. Dan memang kejadian itu sangat langka dan penuh makna. Aku menganggap itu sakinah yang Allah berikan padaku dan putriku saat itu. Meski itu belum tentu menandakan anugerah khsusus, namun bagaimana pun aku harus mensyukurinya dan mengambil ibrah dari kejadian itu.

Mengapa pada saat itu aku memandang itu adalah kehebatan Allah, bukan memandang pada bunyi petir guntur menghilang nyali, bukan pada hebatnya angin yang menumbangkan pohon besar, bukan pada lebat hujan yang menghanyut jutaan rupiah, pada kesendirian kami di tengah hutan atau pemikiran apa pun yang pada akhirnya membuatku ketakutan?

Bisakah anugerah itu diberikan kepada hamba-Nya secara acak?

Memang tak patautlah satu kejadian membuat kita sombong. Dan kenyataannya dalam umurku yang panjang, aku pun pernah mengalami ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, bahkan putus asa. Dan mungkin anugerah itu hanya beberapa kali saja dalam hidupku.

Kalau dipikir-pikir, saat itu memang pekerjaanku hanyalah sebagai ibu rumah tangga, menghafal, membaca buku, tidak memiliki telelvisi juga ponsel, dan hanya memiliki sebiji radio yang setiap pagi bisa mendengarkan cerah AA gym dan Abdullah bin Ghafar (kalau tidak salah).

Dari bangun tidur sampai tidur kembali, memang keseharianku sudah terpolakan seperti itu. Tidak ada tontotan romatis ala-ala princes yang meniupkan syahwat dan janji-jani semu, serta tidak ada berita selebriti atau pun orang-orang pencari sensasi. Maka sangat wajar jika aku memiliki pandangan seperti itu meski mengalami situasi yang sangat besar.

Hal ini mengingatkanku pada cerita guruku waktu masih sekolah di madrasah. Beliau cerita, ada seorang tua guru (aku mengingatnya nama guru itu adalah Ibrahim) yang berjalan membawa purtanya. Qudratullah, putranya terlepas dari tangan, berlari dan akhir tertabrak oleh sebuah kendaraan bermotor. Menyaksikan hal itu, guru Ibrahim terdiam, lalu tak lama mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Tidak ada teriakan, atau kepanikan. Beliau memandang itu adalah sebagai kehendak Allah dan harus berlapang dada menerima.

Meski terlihat tidak normal, namun kondisi emosi seperti ini tentu lebih baik dari pada munculnya emosi negatif yang meletup-letup yang pada akhirnya menyiksa diri sendiri.

Semua orang tahu, kita memiliki pandangan yang berbeda dan tidak dapat disamaratakan. Jika kita dihadapkan pada cuaca hujan, maka setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Sebagai petani, tentu mereka memandang sabagai rezeki yang akan menyuburkan tanaman mereka. Sangat berbeda dengan penjual es, sesekali mereka bisa menerima, tapi hujan terlalu mereka akan sedih karena pendapatan yang berkurang. Tentu berbeda dengan pandangan orang yang berbeda-beda profesi atau status sosial. Ada yang menganggap hujan itu anugerah, sebaliknya ada yang menganggap bahwa itu musibah atau kesedihan.

Berbeda lagi mereka yang berpandangan segala sesuatu itu adalah bentuk keAgungan Allah.  Mereka akan bersyukur jika itu berdampak baik pada penghidupan mereka dan bersabar jika mendapatkan dampak buruknya. Bahkan ada yang selalu menganggap baik apa pun terjadi karena mereka selalu berprasangka baik kepada Allah.

Lalu apakah kondisi emosional seperti itu akan muncul begitu saja?  Tentu saja tidak. Memang itu adalah anugerah dari Allah, tapi tentu kita bisa mencapainya.

Manusia memiliki pikiran dan perasaan, dan kedua nya bermula dari otak, sedang otak menerima semua informasi dari penglihatan, pendengaran, dan perasa. Dan dari tiga indra inilah akhirnya mempolakan pikir dan perasaan kita.

“…Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl : 78)

Jika kita terbiasa mengisi ketiga indra ini dengan ilmu agama dan keagungan Allah, maka pikiran dan perasaan akan cenderung taat kepada Allah. Jika keseharian kita dipenuhi semangat dan informasi bagaimana berbisnis, maka kita berpotensi menjadi pengusaha yang sukses. Tetapi jika waktu kita habiskan nonton drama-drama penebar angan-angan semua, maka besar kemungkinan kita menjadi kufur nikmat dan penghayal sejati. Telah sampai kabar ke telingaku, bahwa ada seorang istri minta cerai kepada suami di pengadilan, gara-gara suaminya tidak romantis. Aku mengira istrinya ini penyuka drakor genre romance.

Jadi sebaiknya, kita luangkan waktu kita untuk menggunakan pendangan, pendengaran dan hati kita menuntut ilmu, berdzikir dan bersyukur kepada Allah. Karena hanya dengan itulah, perasaan kita akan selalu menjadi lebih sabar, syukur, lapang dada, ikhlas, memiliki sikap harap dan takut kepada Allah, selalu prasangka baik dan reda Allah menjadi tujuan.  Pandangan kita hanya tertuju kepada Allah dan Allah. 

 


 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang  terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (Q.s. Ali Imran : 190-191)

Berilah waktu menatap matahari dengan segala cahayanya. Allah yang memberi matahari. Allah memberi cahaya dan banyak makhluk di bumi mendapatkan manfaatnya. Tataplah daun yang bergoyang, angin yang berembus, debu-debu yang berterbangan, kesehatan tubuh sehingga mampu beraktifitas, rezeki yang mencukupi untuk hari itu, bibir yang tersenyum, mata mampu melihat, pendengaran yang baik, dan banyak lagi. Tidak aka nada habisnya nikmat Allah yang telah kecap, tergantung kita, apakah mau memikirkan dan mensyukuri, meski hanya sesaat. 

 

Allah tidak meminta rezeki (untuk diingat) kepada kita, tapi Allah yang memberi rezeki kepada kita (Allah selalu mengingat kita sehingga tidak pernah alpa dalam memberi nikmat-Nya kepada kita)

 

 

  Sebenarnya cerita ini lama sekali, namun karena banyak memberiku hikmah hingga sampai sekarang masih berbekas. Hari itu seseorang menc...
El Nurien