بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
suatu hal yang lumrah jika
suami-istri mempunyai pendapat, pandangan, atau kemauan yang berbeda. Jika
sama-sama jalan sih ngga papa. Yang bermasalah kadang harus menuntut satu
keputusan. Istrikah atau suamikah?
Kalau sama-sama keras, besar
kemungkinan akan pecah atau bahkan bisa jadi meledak hingga hancur lebur.
Sama-sama mengalah, maka akhirnya tak ada keputusan yang dibuat. Suami yang
bijak mengalah? Ini pun kadang bukan keputusan yang terbaik, tak sedikit yang
hancur dikarenakan seorang pemimpin terlalu lemah atau tak bisa menentukan
sikap. Istri mengalah? Khawatirnya diam-diam egonya merasa tertawan. bahkan
mungkin merasa harus mengubur mimpi, kreatifitas, atau eksistentinya. Memang
menyakitkan!
Maka jalan satu-satunya adalah musyawarah. Saling mengemukakan
pendapatan, saling menimbang-nimbang pendapat satu sama lain.
Namun ada kalanya sang suami ngotot karena pendapatnya memang
benar, sedangkan istri bersikukuh karena juga merupakan atas pertimbangan yang
matang. Sementara keadaan tetap menuntut satu keputusan.
Kalau menurut diri pribadi sih, jika
pendapat suami memang benar (sesuai akal dan agama) walaupun pendapat kita
tidak salah – istrilah yang harus mentaati suami. Apa? Haruskah istri yang
selalu mengalah? Apakah agama menuntut ketaatan seperti ini, hingga harus
menguburkan mimpi, menghilangkan segalanya demi suami? #segitunya…. ^-^
Tidak! Istri tidak mengalah dan
juga didiskriminasikan. Justru di sinilah letak kemenangan seorang istri.
Kemenangan atas kemampuan menaklukan egonya sendiri, demi anugerah yang Allah
berikan kepadanya. Kemampuan menaklukkan asa demi sebuah keseimbangan biduk
rumah tangga. Kemampuan menyimpan mimpi, demi kebahagiaan bersama. Kemampuan
menaklukkan perasaan demi iman, demi redha Robbul Izzati.
Inilah yang dimaksud arti sebuah
kemenangan. Apalah artinya kita mempertahan keinginan, mimpi maupun asa, kalau
hari-hari harus bertengkar dengan suami. Kalaupun dengan kesabarannya, ia mampu
berdiam, namun diam-diam kita telah menyemaikan rasa tidak suka di hatinya.
Tubuh, rasa, mimpi, asa boleh
hancur demi sebuah ketaatan, tapi kita tidak boleh kehilangan ridha Ar-Rahman
Ar-Rahim. Apapun yang dilakukan demi ridha Allah akan berimbang pada kebahagiaan
yang lain. Tidak akan ada pengorbanan yang sia-sia. Apalagi jika demi ridha
Pemilik sang Cinta.
Pengorbanan yang kita lakukan
demi suami pun, tidak akan hilang begitu saja di hatinya. Dengan pengorbanan itu,
akan melahirkan sejuta penghargaan dan bibit cinta di hatinya. Yang mana,
setiap saat bibit itu bisa tumbuh dan berkembang, jika terus disiram dan dipupuk
dengan kesabaran dan kebaktian. In sha Allah.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar