Sangat penting menanamkan keyakinan iman kepada anak sejak dini. Karena kekuatan dan kecerdasan spiritual yang akan menentukan bahagia tidaknya di masa depan mereka.
Orang tua boleh menginginkan anak-anaknya sukses dalam segi prestasi, akademik, financial dan sosial, akan tetapi jika tanpa adanya iman, maka anak-anak tersebut belum mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kehidupan akan terasa sempit menghimpit, ia tak mempunyai kekuatan spiritual untuk menghalau setiap cobaan yang menerpanya. Boleh jadi ia mempunyai kecerdasan dalam mengatasi masalahnya, tapi jika tanpa memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu dari Allah, maka kondisi ini bisa melahirkan sifat sombong dan terpaling dari kebenaran yang datang dari Allah/agama. Karena inilah sering terlahir generasi-generasi hamba kecantikan, hamba teknologi, hamba sains, hamba seni dan berbagai penghambaan, yang segala sesuatu tidak ia sandarkan kepada Allah.
Sukses dalam prestasi, akademik, financial dan sosial akan lebih sempurna jika disertai keimanan yang kuat dan ketaatan pada agama. Bahkan dengan adanya kekuatan spiritual, prestasi, akademik, financial dan sosial akan semakin melejit tinggi.
Sebaliknya, jika Allah berkehendak rezekinya dalam kondisi penuh keterbatasan, tetapi jika spritualnya kuat, maka itu lebih dari cukup. Dengan iman dan agama, ia akan bahagia. Dengan iman dan agama ia akan selalu bersyukur, bersabar jika musibah menghadang dan selalu tawakkal dalam setiap melangkah.
Yang sangat buruk, jika dalam rezeki serba kekurangan, iman dan agama pun lebih kekurangan lagi, maka dapatkan dipastikan hidupnya akan sengsara. Sempit menghimpit.
Penanaman keyakinan kepada anak dapat dilakukan dengan dialog ringan. Misalnya: ketika anak meminta sesuatu, katakan “Nak, mintalah kepada Allah karena hanya Allah yang bisa memberi. Ayah dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa tanpa izin Allah. Allah yang memberi, ayah dan ibu hanyalah mengantar.”
Atau dengan pernyataan yang ringan, “Sudah doa belum?” Atau ketika anak mendapatkan sesuatu, katakan, “Siapa yang kasih?” biasakan ia mengucapkan Allah. Jika dia mengucapkan “Allah”, sahut dengan Alhamdulillah. Biasakan mereka mengucapkan Alhamdulillah, setiap kali mendapatkan nikmat.
Segala sesuatu yang menyenangkan, baik yang ia lihat, ia dengar, ia rasakan, selalu ingatkan kepada Allah.
Biasakan juga selalu diingatkan Allah, ketika mendapatkan kondisi yang tidak menyenangkan, agar ia membiasakan diri untuk bersabar.
Berikut sebuah cerita ibu teladan yang sangat menginspirasi. Semoga kita dapat mengikuti jejak mereka.
Seorang ibu telah berkomitmen mendidik keyakinan yang tinggi kepada putranya. Jika anaknya meminta sesuatu, maka ibunya selalu menjawab mintalah kepada Allah dan shalat. Begitu juga jika anaknya ingin makan, ibunya akan menyuruh shalat, mintalah kepada Allah.
Saat anaknya shalat, maka sang ibu secara diam-diam menyiapkan makanan dan meletakkannya dalam lemari. Dan sang anakpun sudah terbiasa, setiap shalat akan mencari makanan di lemari tersebut.
Suatu hari, sang ibu mempunyai keperluan keluar rumah, dan lupa menyiapkan makanan dalam lemari. Sebentar lagi anaknya akan pulang dari sekolah, sedangkan sang ibu masih dalam perjalanan.
Sepanjang jalan sang ibu menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan rusakkan keyakinan anakku.”
Sesampai di rumah, sang ibu bertanya kepada anaknya, “sudah makan?”
“Sudah,” jawab anaknya. Sang ibu terhenyak. Siapa yang menyiapkan makanan? Sedangkan di rumah tak ada siapa-siapa.
Sang anak berkata lagi, “Oh ya bu, kali ini makanannya saaangat enak.”*
*cerita ini biasanya sering didengar dalam mudzakarah tarbiatul aulad. Namun, siapa ibu dan anak itu, tidak pernah disebutkan, kecuali sewaktu kami di Bangladesh, ada yang mengatakan “dia adalah Ibnu Qa’qa. Yang kelak anak tersebut menjadi ‘ulama besar pada masanya.” Allahu a’lam
Semoga anak-anak saya termasuk anak yang teguh dengan iman dan meyakininya, makasih ya baca artikel ini saya jadi termotivasi kembali.
BalasHapusSalam blogging dari Bandung
aaminn... terima kasih juga telah berkunjung ke blog ini.
Hapussalam blogging balik, dari Banjarmasin.