Menu
Cahaya Akhwat

Menatap Bintang


 


Setya tersenyum lega, ketika mendapati pasien yang dicarinya duduk di sebuah bangku di taman belakang, sambil menengadahkan kepalanya. 


Sesaat pasien itu terperanjat, ketika Setya menyampirkan snelli ke punggungnya. 


Pasien itu menoleh. "Dokter."

Setya tersenyum, lalu meletakkan bokongnya ke ujung bangku. "Dingin. Takutnya memperburuk kesehatanmu." 


Pasien itu menyentuh snelli ragu, namun dinginnya angin malam membuat kedua tangannya tergoda untuk merapatkan snelli itu ke badannya. Perlahan kehangatan mengalir di badannya. 


"Bagaimana keadaanmu? Agak baikan?"


"Alhamdulillah, sudah mulai baikan," ucapnya sambil tersenyum tipis. "Kenapa ke sini?"


"Kenapa? Tidak boleh?"


Pasien hanya menjawab senyum tipis,  lalu kembali menatap langit. Setya mengikuti arah pandangannya. 

Terlihat bertaburan cahaya-cahaya menghiasi pekatnya malam. 


"Apa yang kaupikirkan?" 


Pasien menatapnya dengan mengerutkan kening. Setya tertawa kecil. "Iya… aku mengerti, kita tidak terlalu akrab, bahkan bisa dibilang hubungan kita buruk. Tapi…" Setya memajukan wajahnya. "jangan lupa, aku tahu sebagian rahasia dirimu." 


"Jadi kau mengancamku?"


Setya tergelak. "Tidak. Aku hanya ingin menjadi teman dapat dipercaya buatmu. Terlebih lagi, kau sekarang jadi pasienku. Apa salahnya aku tahu masalahmu, siapa tahu aku dapat membantumu, apalagi yang berhubungan dengan kesehatanmu.

Aku yakin, kau sakit sampai begini, pasti ada hubungannya dengan...." Setya sengaja menggantung kalimatnya.


"Aku begini karena terlalu bekerja keras mengejar tes kelulusan dan pada akhirnya tidak lulus. Bagaimana tidak membuatku terpukul?" 


"Kamu tak sepenuhnya bohong, tapi ada satu hal lagi yang membuatmu kondisimu semakin buruk." Setya kembali memajukan wajahnya, membuat pasien menarik badannya.

 "Kau mungkin bisa menyembunyikannya dari orang lain, tapi tidak padaku."


"Iya, iya.. kau si dokter jenius, jangankan jasadku, mungkin isi hatiku pun kau bisa membacanya."


Setya tertawa, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. Dalam hati ia menghitung, berapa kali ia telah tertawa malam ini. Ia berpikir, mungkin malam inilah tertawa paling banyak dalam hidupnya. "Aku tidak sejenius itu, ko."


Pasien tersenyum menatapnya. Malam ini, ia melihat sisi lain dari seorang Setya. Cowok yang yang selama ini selalu membuatnya kesal, menunjukkan sisi yang tidak terduga padanya. Ia bertanya-tanya, adakah orang yang tahu ini, selain Reihan dan Ustadzah Aisyah?


Sesaat ia menatap snelli yang melekat di badannya. Hana akan berteriak histeris jika mengetahui hal ini. 


"Bintang banyak memberiku hikmah malam ini," ucap Pasien setelah cukup lama dibekap keheningan. 


Setya menoleh. Mengamati gadis berkerudung di sampingnya. Ia tahu, malam ini akan mendapatkan banyak pengetahuan dari gadis sering disebutnya bodoh ini. 


"Pasti ada alasan mengapa Allah meletakkan keberadaan makhluknya. Misalnya bintang. Keberadaannya bukan karena kebetulan, tapi pasti ada tujuannya. Setelah melewati mekanisme yang rumit, seluruh makhluk di muka bumi ini bisa menikmati keindahannya. Bahkan mungkin,  pekatnya langit, salah satu alasan untuk keindahan bintang."


Pasien menghela napasnya, lalu tertunduk. "Begitu juga dengan keberadaan dan takdirku saat ini. Allah pasti tahu, bahwa suatu saat aku akan terluka, tapi mungkin, ada alasan di balik semua ini. Salah satunya malam ini. Aku tidak akan bisa menikmati indahnya bintang, kalau saja aku tidak melewati kenyataan rumit, yang membuatku menjadi pasien di sini." 


Setya tersenyum haru. "Lain kali, kalau kau ingin menikmati cahaya bintang di sini, kau tak perlu jadi pasien. Aku kenal pemilik ini. Kau bahkan bisa ke atas gedung ini." 


Pasien tersenyum geli. 


"Serius!" 


"Iya, aku percaya. Lagi pula, kenapa harus ke sini kalau hanya untuk melihat bintang?" 


Setya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya juga sih." 


"Terima kasih."


"Hah?" 


"Terima kasih."


"Atas?"


"Merawatku, jasnya, juga menemaniku melihat bintang malam ini." 


"Oh. Sama-sama. Lagi pula, semakin cepat kau sembuh, semakin cepat wajah bodohmu menghilang dariku."


Pasien hanya merespon dengan senyuman. Setya kembali terlihat seperti dulu. Tapi Pasien sempat menangkap kilatan sesungguhnya, itu bukan dari dalam hati. Pasien itu menyadari, mungkin karena ia terlanjur kesal pada Setya, sehingga tidak melihat hal yang sebenarnya. Atau mungkin Setya memang telah berubah. 


Setya terdiam sesaat. Ia penasaran, apa yang akan dilakukan Gadis itu selanjutnya. Apakah akan kembali ke pondok setelah semuanya terjadi? Namun tidak mungkin ia bertanya langsung, dengan situasi sekarang ini. 


"Bagaimana kalau kita membuat game?" 


"Game?"


"Begini," Setya meluruskan badannya, menghadap sang Gadis. "Kita tatap bintang sejenak, lalu apa yang ada pikiran kita, sesuatu yang berhubungan dengan bintang. Masa depan, atau apa pun."


Gadis mengerutkan keningnya. 

Setya memperjelas. "Misalnya, ketika melihat bintang, kau menginginkan sesuatu."


 "Oke." Gadis menyanggupi, setelah berpikir sesaat. 


"Kita mulai, ya." 


Gadis mengangguk, lalu mengikuti gerakan Setya, menatap bintang-bintang. Tak butuh waktu lama bagi Setya untuk memahami keinginannya. Ia menatap Gadis yang masih saja menatap bintang. 


"Kau sudah menemukannya?"


Setya terperanjat. Ia tak menyadari kalau yang ditatap menangkap gelagatnya. 


"Sudah."


Sang Gadis menyudahi kegiatannya. 

"Apa itu?"


"Aku ingin menjadi bintang bagi seseorang."


Gadis memutar bola matanya. 


"Kau menganggap ini biasa?" Setya tersinggung. 


"Bukan begitu. Jika dalam hal asmara, tentu saja itu kedengaran romantis. Tapi, entah kenapa, aku merasa pernah mendengarnya."


"Benar. Ini memang sangat familiar, tapi baru kali ini aku merasakannya."


Gadis itu membetulkan posisi duduknya, dengan masih menjaga jarak. 


Setya menatap lurus. "Tiba-tiba saja, aku ingin menjadi berarti baginya. Meski dari kejauhan, aku ingin menjadi cahaya juga teman dalam gelap dan kesendiriannya."


"Entah kenapa ini terdengar menyedihkan. Jadi dia belum tahu perasaanmu?"


"Aku pun tak tahu pastinya bagaimana perasaanku padanya. Tapi itulah yang kurasakan saat ini. Tunggu... tunggu, kenapa tatapanmu, membuatku tidak nyaman."


Pasien mengerjap. "Aku cuma tak menyangka kau memiliki sisi seperti ini. Siapa pun itu, dia sangat beruntung."


Setya mendesah kecewa. Sepupunya memang pernah cerita, bahwa orang yang di sampingnya ini tidak begitu peduli dengan urusan orang lain.


 "Dan kau sendiri bagaimana?"


"Hah?"


Setya mengarahkan dagunya ke atas. 

Seketika Gadis itu tersadar. Ia menengadahkan wajahnya. "Aku teringat sebuah ayat. 'Dan sungguh, Kami telah menciptakan gugusan bintang di langit dan menjadikannya terasa indah bagi orang yang memandangnya.'"  (QS. Al-Hijr : 16)


Setya menyimak. 


"Banyak orang terbantu berkat kehadirannya. Ada yang menikmati keindahannya, sebagai cahaya dalam kegelapan, teman dalam kesepian, petunjuk arah dalam perjalanan, prediksi cuaca esok hari, dan entah manfaat apa lagi. Aku sangat bersyukur bisa menikmati keindahan malam ini, mendapatkan banyak pelajaran, dan perasaanku juga jadi lebih baik."


Gadis itu tertunduk. 


Setya belum memahami arah pembicaraan, namun ia mencoba bersabar menunggu kelanjutan dari Gadis itu. 


"Aku sangat bersyukur atas nikmat ini. Aku ingin mengerahkan seluruh hidupku untuk mengabdi kepada Pencipta bintang-bintang ini."


Setya bisa merasakan sesak memenuhi rongga dada pasien di sampingnya. 


"Aku tak yakin dengan langkahku esok hari. Apakah sebaiknya aku berhenti saja, atau tetap bertahan di pondok, lalu ikut tes lagi di tahun berikutnya? Lalu selanjutnya bagaimana? Apakah aku akan mengabdi di pondok, atau keluar saja, mengejar beasiswa seperti keinginanku dulu. Kemanapun langkah kakiku nanti, aku ingin menjalani dengan sepenuh pengabdian dan menebarkan kalimat-kalimat Allah."


Gadis menengadahkan wajahnya. "Aku ingin, banyak orang menikmati keindahan ini dengan penuh kesyukuran kepada Allah. Andai bintang bisa melihat, aku ingin bintang melihat kesyukuran umat ini, seperti kita melihat taburan bintang di malam ini." 


Setya teringat teguran Aisyah, agar berhenti meremehkannya. Gadis itu memang terlihat bodoh dan lambat, tapi cemerlang pikirannya dalam memahami Al-Qur'an.



Gadis itu menoleh. Lalu mengibas-ngibaskan tangan ke dekat wajah Setya. 


Setya mengerjap.

"Hebat!" Setya mengangkat kedua jempolnya.


Gadis tertawa. "Apanya yang hebat? Kita hanya memikirkan keinginan dan harapan. Kitalah yang lebih tahu apa yang seharusnya kita lakukan. Hebat bagi orang lain, belum tentu buat kita. Kalau secara sisi pandanganku, keinginanmu juga hebat."


Setya tertawa sinis. "Hebat dari mananya?" 


"Orang seperti kamu, ternyata bisa jatuh cinta. Bagiku ini luar biasa. Aku jadi penasaran, siapa gadis itu."


Setya terkekeh. "Memangnya aku bagaimana?" 


"Kau, keponakan Kiyai yang terkenal tampan juga ramah. Tapi di mataku, kau seperti seseorang kesepian di keramaian. Bagimu, mereka hanyalah seperti pasien yang senantiasa harus kau suguhi senyuman dan layani dengan baik." Cahya mendekatkan wajahnya, "heh... Palsu."


Setya menahan napas. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin, seorang Cahya, yang mungkin masih lupa siapa namanya, bisa memahaminya dengan baik. 


#Maaf, jika ada yang kurang memahami cerpen ini. 


#Cahya hanyalah cerita slide of life. Silakan baca serial Cahya di wp, kita akan melihat saling satu sama lain saling berhubungan, tapi secara random. Karena memang ada keinginan untuk dibuat novel, tapi belum bisa istikamah. Akhirnya beginilah hasilnya. 


Semoga bisa dinikmati dan diambil hikmahnya. 





Tidak ada komentar