Tidak banyak sejarah yang menceritakan tentang Shafuria (Shafura), putri Nabi Syu’aib. Di dalam Al-Qur’an hanya beberapa ayat yang menyinggung tentang Shafura, sehingga kadang terjadi perbedaan cerita di antara para ‘ulama dan ahli sejarah. Pastinya, Shafuria wanita shalihah yang Allah pilih untuk mendampingi Musa ‘alaihis salam. Dan di sini saya hanya mengambil beberapa hikmah dari beberapa ayat yang menyinggung tentang Shafuria.
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (Al-Qashash : 23)
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash : 26)
Pada ayat 26, terlihat betapa Shafuria mengharapkan seseorang untuk menggembalakan kambing-kambing ayahnya. Ia menginginkan wanita menjadi wanita yang shalihah, suci dan menjadikan rumah sebagai ladang amalnya, akan tetapi Shafuria dan saudarinya tetap bersabar menggembala kambing karena ayahnya yang sudah lanjut usia.
Kesabaran lainnya, terlihat ketika ia dan saudarinya rela menunggu menyelesaikan orang-orang memberi minum ternak mereka, asal ia tidak bercampur dengan kaum laki-laki (ayat : 23).
Dan hari itu, atas pertolongan Allah, Musa membantu pekerjaan mereka, yaitu memberi minum ternak gembalaan mereka sehingga mereka cepat pulang ke rumah. Atas hal ini membuat Nabi Syua’ib heran dan menanyakan kepada putri mereka. Shafuria menceritakan bahwa ada seorang seorang pemuda asing yang membantu pekerjaan mereka.
Nabi Syu’aib, menyuruh putrinya untuk memanggil Musa, sebagai seorang yang menyambut tamu di negerinya.
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (Al-Qashash : 25)
Shafuria datang kepada Musa dengan perasaan malu yang luar biasa. Umar bin Khattab berpandangan bahwa dia menutup wajah dengan ujung pakaiannya. Sifat malu ini, lagi-lagi menonjolkan keshalihan dan kesucian Shafuria. Shafuria tidak terbiasa bergaul dengan laki-laki asing.
Satu hal lagi yang harus dipahami, rasa malu ini bukan seperti malunya seorang gadis desa yang bertemu dengan pangeran kota yang sering diperlihatkan cerita sinetron atau film-film. Tapi, malu seorang gadis yang shalihah yang merasa tidak pantas seorang wanita mendekati laki-laki.
Musa adalah seorang nabi, yang tentu cahaya keimanannya terpancar dalam wajahnya. Namun bagi Shafuria, justru hal itu membuat semakin malu mendekat apalagi menatap. Hal ini sangat berbeda sekali, dengan gadis masa kini, yang mana mereka hysteria ketika bertemu dengan idola ganteng mereka.
Di sini, kita juga dapat mengambil kesimpulan; sifat malu terhadap laki-laki yang bukan mahram adalah salah satu ciri mukminah yang shalihah. Semakin kuat imannya, semakin kuat rasa malunya terhadap laki-laki yang bukan mahram.
Singkat cerita, Shafuria dinikahkan dengan Musa ‘Alaihis salam.
Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: "Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan.” (Al-Qashash : 29)
Ketika Musa telah menyelesaikan perjanjiannya, maka ia ingin kembali ke kampung halamannya. Rindu ingin bertemu dengan ibu dan saudara-sudaranya. Dan Shafuria, istri yang shalihah senantiasa mendampingi suaminya ke manapun, padahal waktu itu ia sedang mengandung.
Mereka meninggalkan Madyan, berjalan menuju Sinai. Qudratullah, mereka tersesat ke arah jalan gunung Thur, padahal saat itu hari sudah gelap. Mereka memutuskan istirahat di sana dan mendirikan sebuah kemah. Karena cuaca yang sangat dingin dan gelap, Musa keluar dari tenda dan dari kejauhan ia melihat seberkas cahaya. Musa memutuskan mendekati cahaya itu dengan harapan bisa membawakan api untuk memberi penerangan dan menghangatkan badan keluarganya. Musa meminta istrinya, agar tetap diam di dalam tenda.
Jika kita bayangkan andai itu kita, tidak mudah bagi kita tinggal sendirian dalam gelap, dingin, terlebih lagi di negeri asing, mungkin saja ada binatang buas yang siap menerkam mereka. Tapi tidak bagi Shafuria, ia adalah wanita yang taat, ia akan mematuhi perintah suaminya walaupun itu sangat berat dan menakutkan.
Entah berapa lama Shafuria sendirian di dalam tenda (ada riwayat, saat itu mereka sudah mempunyai dua orang anak). Karena saat itulah, ternyata Musa menerima wahyu pertama dari Allah. Mengajarkan Musa kepada Tauhid dan meninggalkan kesyirikan. Musa juga diperintahkan untuk pergi kepada Fir’aun dan kaumnya untuk menyampaikan risalah ketauhidan.
Musa kembali ke tenda dan menceritakan semua itu kepada istrinya. Shafuria semakin sadar, akan banyak tugas yang diemban suaminya dan ia senantiasa mendampingi suaminya apapun yang terjadi.
Shafuria senantiasa mendampingi suaminya. Ia juga da’wah kepada wanita-wanita di kaum suaminya.
Walaupun sering ditinggalkan, sering menghadapi berbagai kesulitan bahkan nyawa taruhannya. Ia juga melihat jelas, bagaimana tantangan yang dihadapi suaminya ketika di ajak duel dengan sihir-sihir Fir’aun, bahkan ada riwayat; Shafuria sempat pingsan karena saking mengkhawatirkan keadaan suaminya. Namun, sedikitpun ia tak pernah menghalangi kerja suaminya atau sekadar membujuk suaminya agar berhenti, bahkan ia selalu mensupport dan mendukung kerja suaminya.
Hikmah besar yang dapat kita ambil dari perjalanan hidup Shafuria: Shafuria adalah yang wanita shalihah yang dicintai Allah. Sejak remaja/atau mungkin masih kecil, ia sudah terbiasa bekerja keras. Allah mencintai wanita yang taat dan sabar, namun kecintaan Allah kepadanya bukanlah berbentuk dimudahkan fasilitas untuknya atau dijodohkan dengan lelaki yang kaya raya sehingga hidupnya lebih baik, tetapi justru ditambah lagi pengorbanannya dalam ketaatan kepada Allah, bahkan dalam menyebarkan agama Allah. Ia dipilih menjadi istri seorang nabi. Mendampingi seorang laki-laki yang mengemban tugas yang sangat besar, untuk menyampaikan risalah agama kepada umat. Untuk mengemban tugas mulia itu mereka harus menerima berbagai ujian dan cobaan, menuntut pengorbanan dan kesabaran, tapi justru disitulah bukti cinta Allah kepada Shafuria.
Dan kita hari ini, sudahkah menjadi wanita yang Allah pilih dalam pengorbanan untuk agama?
Berdoalah kepada Allah, agar Allah memilih kita dalam usaha menyebarkan agama. Jangan takut dengan kesedihan dan ujian. Semua itu tidaklah menjadi terlalu berarti, karena jika Allah memilih kita, maka itu adalah karunia Allah yang sangat besar.
Berdoalah kepada Allah, agar Allah memilih kita dalam usaha menyebarkan agama. Jangan takut dengan kesedihan dan ujian. Semua itu tidaklah menjadi terlalu berarti, karena jika Allah memilih kita, maka itu adalah karunia Allah yang sangat besar.
“Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan Kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya….” (An-Naml : 59)
Semoga kelak, Allah temukan kita dengan Shafuria. Aamiin.
*Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar