Menu
Cahaya Akhwat

Mengapa Hanya Muslim India?

#CAHYA


Mengapa Hanya Muslim India?

Pagi Jum’at Pondok Tahfiz Darul Qalam putri selalu mengadakan tausiyah yang dibawakan oleh ustadzah yang biasa dipangil Ustadzah Aisyah. Beberapa minggu terakhir Ustadzah Aisyah mengajak santriwati shalat berjamaah dua rakaat untuk mendoakan kaum muslimin yang tertindas dan kesulitan di berbagai belahan dunia.

 Setelah selesai berdoa, Ustadzah Aisyah kembali berbalik menghadap santriwati. Sejenak dia menatap wajah-wajah santriwati yang masih memakai mukena. Luasnya aula dan banyak santriwati tak membuatnya kesulitan mencari seseorang. Dia tahu betul santriwati sekaligus sahabatnya tersebut lebih suka memilih tempat di sudut-sudut. 

“Cahya, kemarilah!” 

Pemilik nama tersebut seketika terkejut. Dia meringis ketika menyadari seluruh mata santri kini tertuju padanya. Dia tak suka menjadi bahan sorotan. Sesaat Cahya kesal kenapa Ustadzah Aisyah memangggilnya, tetapi tak mungkin dia berani protes apalagi untuk memenuhi panggilan putri semata wayang dari pemilik sekaligus pengasuh pondok tahfiz tempat dia menghafal dan mengabdi.

“Inggih, Ustadzah.” 

Ustadzah Aisyah tersenyum geli Cahya berjalan memecah lautan shaf santriwati dengan wajah meringis. Setengah tahun rasanya cukup bagi Aisyah untuk mengenali Cahya. Cahya salah satu santriwati yang menjadi khadim di keluarganya. Abinya memberikan keringanan spp juga biaya makan khusus santriwati tidak mampu dengan berkhadim di kediaman keluarga kiyai.

 Biasanya mereka didaftarkan oleh keluarganya atau mendaftar sendiri, tetapi berbeda dengan Cahya, Ustadzah Aisyah sendiri merekrut Cahya. Ustadzah Aisyah melihat pribadi unik dalam diri dalam Cahya. Orangnya suka menyendiri dan terlihat tidak peduli dengan sekeliling tetapi ringan tangan ketika dia melihat ada orang yang memerlukan bantuan.
Cahya hanya setahun lebih tinggal di pondok tapi sepertinya Cahya memiliki pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an di atas rata-rata santriwati lainnya. Dibanding sebagai khadim, Aisyah lebih suka memandang Cahya sebagai sahabatnya. Lagipula umur mereka tidak terlalu jauh. 

Ustadzah Aisyah memahami mengapa santrinya tidak begitu banyak memahami ayat-ayat yang dihafal karena memang abinya memberlakukan hanya fokus kepada menghafal. Untuk mempelajari tafsir dan kitab lainnya nanti, pada jenjang berikutnya setelah dinyatakan lulus tes hafal 30 juzz. Itupun harus melihat kondisi kemampuan santri. Jika tidak memungkinkan menghafal lagi, maka akan difokuskan untuk mempelajari kitab. Sedangkan Cahya, dia seperti dapat melihat ayat-ayat Al-Qur’an dalam setiap langkahnya beberapa bulan terakhir. 

 Cahya duduk di samping Ustadzah Aisyah dengan wajah menunduk. 

“Seperti yang kita tahu, hari ini kita shalat mendoakan muslim India tertindas. Dan anti juga pasti tahu bahwa Allah menyuruh kita peduli satu sama lain. Kita tidak bisa diam saja jika melihat saudara kita tertindas atau mengalami kesulitan. Kita harus membantunya, setidaknya dengan doa seperti yang kita lakukan hari ini. Cahya, ana bertanya pada anti, apakah anti tahu atau melihat ada ayat Al-Qur’an yang menyinggung kepedulian ini.”

Cahya terdiam. Pikiran masih saja dikuasai kesal oleh sahabatnya, lalu ditanyakan hal seperti itu. Andai bukan anak kyai, entah apa yang dilakukannya. 

“Afwan, Ustadzah. Ana tidak tahu,” jawab jujur Cahya. Dalam hati ia merutuki, kenapa Ustadzah Aisyah menanyakan hal itu kepadanya, padahal dia bukan santri kitab? 

“Cobalah ingat-ingat lagi, barangkali ada yang terlewatkan!”

Cahya memejamkan mata. Ia tahu betul Ustadzah Aisyah tipe tidak mudah menyerah. Dia harus segera menemukan ayat tersebut sebatas dalam hafalannya. Dia memang suka membaca tafsir di sela-sela menghafalnya, tapi tidak semua yang bisa dia kuasai atau memang dia tidak begitu peduli dengan orang lain sehingga meski telah menghafalnya, ayat tersebut tidak menyentuhnya? Cahya terus memutar otaknya sambil berdoa agar diingatkan, lalu bisa menghilang dari banyaknya tatapan santriwati.
Cahya mengembuskan napasnya pasrah.

 “Entahlah, Ustadzah. Ana sudah berusaha mengingatnya tapi hanya terpikir satu, dan ana rasa itu tidak cocok dengan pertanyaan Ustadzah.”

“Tak apa. Coba katakanlah!”
Setelah ta’awudz, Cahya membaca ayat 50 dari surah Al-A’raf, 
“"ونادى أصْحٰب النّار أصحٰب الجنّة أنْ أفيْضُ عليْنا من الماء أو رزقكم الله ۚقالوا اِنّ الله حرّمهما الله على الكافرين

Cahya panik ketika mengangkat wajahnya melihat air mata Ustadzah Aisyah bercucuran. Ia segera meraih tangan Ustadzah Aisyah dan menciumnya. “Maafkan ana, Ustadzah.”

Ustadzah Aisyah tertawa ringan sambil mengusap mukanya. “Anti tidak salah, Cahya. Ayat yang anti baca menyadarkan ana.”
Cahya mengangkat wajahnya. Ustadzah Aisyah memalingkan wajahnya, menghadap kerumunan santriwati yang menatap mereka penuh tanda tanya. 

“Tahukah kalian arti ayat yang dibaca Cahya?”

Sebagian menjawab ya, sebagian mengaku tidak tahu. 

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga, ‘limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Mereka (penghuni surga) menjawab, ‘sesungguh Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.

"Begitulah kondisi penduduk neraka, teman-teman.” Ustadzah Aisyah lebih suka memanggil santriwati dengan kata teman dengan alasan karena belum menikah. “Mereka memanggil penghuni surga minta minuman atau makanan yang ada di surga. Tetapi ahli surga tidak berbuat apa-apa karena itu diharamkan untuk penghuninya neraka. 
Ana menangis karena terbayang mereka datang kepada ana, tetapi ana tak bisa memberi. Ana lihat penderitaan mereka, tapi ana tak bisa membantu. Lebih menyedihkan lagi bagaimana kalau yang datang itu salah satu keluarga atau tetangga ana.” Ustadzah ana kembali sesenggukan. Ia meraih tisu yang tak jauh dari lalu memencetkan ke hidungnya.

“Memang ayat ini bukan menjelaskan tentang pentingnya kepedulian, tetapi dari ayat ini ana sadar banyak hal. Selama ini kita selalu geram ketika melihat kaum muslimin tertindas. Marah dan ingin rasanya mengutuk. Itu juga bentuk kepedulian kita sebagai manusia punya naluri. Kita sedih jika melihat orang lain kesusahan, tetapi kenapa kepedulian hanya sebatas kepada mereka. Padahal di dunia ini banyak umat manusia yang lalai, lupa sama Allah, tentu mereka juga memerlukan doa kita. Orang yang tertindas, jika mereka sabar dan selalu memegang keyakinan mereka, in sya Allah, mereka syahid dan masuk surga. Orang sakit yang sabar, in sya Allah akan mendapatkan ampunan Allah. Orang kesusahan yang sabar, in sya Allah, akan mendapat pertolongan Allah, entah melalui kita atau orang lain. Tetapi orang yang lalai dan bermaksiat kepada Allah, jika mereka meninggal pada saat itu akan masuk neraka. Di kala manusia banyak mengutuk dan menganggap mereka sebagai biang bencana, siapa yang peduli kepada mereka?” ucap Ustadzah terisak. 

“Kita bisanya menyalahkan, tanpa berpikir untuk mengajak mereka kepada hidayah. Lalu kita berpuas diri karena merasa di atas hidayah. Ke mana kepedulian kita sebagai hamba Allah kepada makhluk ciptaan Allah lainnya? Seharusnya kita mencintai mereka sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, ‘tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.’ Kita memang dilarang membela atau bahkan menoleran kemaksiatan, akan tetapi setidaknya kita mengingatkan, mengajak atau mendoakan mereka agar sadar dan kembali ke jalan hidayah.

Mari kembali kita berdoa untuk tetangga, keluarga, mereka yang tertidur tanpa shalat, mereka yang tertawa dalam kemaksiatan, anak-anak yang kehilangan arah hidup, bahkan mereka yang kekenyangan di dalam gedongan dengan harta rakyat, penebar janji atau siapapun di negeri bahkan di dunia agar mereka mendapat hidayah.”

Ustadzah Aisyah mengangkat kedua tangannya diikuti oleh ratusan santriwati. Ustadzah Aisyah berdoa dengan terisak-isak, menularkan kepada santriwati. Air mata Cahya semakin deras ketika teringat masa lalunya. Lalu Allah mengatur jalan kebaikan untuknya dan bahagia atas hal itu, tetapi kenapa ia lupa untuk menebarkan kebahagiaan itu?

Setelah selesai berdoa Ustadzah Aisya berkata,  "teman-teman, berdoa satu kali satu minggu saja tidak cukup.  Sisipkanlah mereka dalam setiap doamu. "

#edukasi menghafal Al-Qur'an
#membersamai Al-Qur'an
#mencetak generasi qur'ani

Tidak ada komentar