Menu
Cahaya Akhwat

Kiat Berdakwah

 

Suatu hari temanku nulis status di fb mengenai surah Al-Ashr yang menegaskan masalah waktu, dimana kita menjalani waktu akan terus mengalami kerugian, kecuali orang yang beriman, beramal shaleh, dan nasihat menasihati dalam kebaikan serta kesabaran.

Lalu ada yang komen, mengeluhkan bagaimana susahnya berdakwah di lingkungan dia. Diabaikan sudah biasa, bahkan kadang dibalas dengan goyunan atau kalimat pedas. Kadang juga diri sendiri yang tidak percaya diri, mengingat diri masih banyak kekurangan. Lalu dia bertanya bagaimanakah membangun percaya diri dan sabar untuk dalam nasihat menasihati?

Si punya status men-tag namaku untuk minta dijawabkan mengingat mungkin lebih mudah komunikasi pada sesama wanita. Aku yang minim ilmu ditanya menjadi kebingungan, bagaimana harus bagaimana menjawabnya. Kata dakwah mengingatkanku sebuah ayat yang sangat familiar.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” (Qs. Al-Ahzab : 70-71)

Belajar dari ayat ini, maka yang harus kita benahi adalah agama dalam diri kita. Mampu menjadi tauladan yang baik dilihat sudut pandang agama juga manusia. Ekspektasi menjadi tauladan yang baik inilah yang kadang membuat tidak percaya diri untuk berdakwah, bahkan kadang menjadi alasan bagi kita untuk menghindar dari tugas dakwah.

Tidak ada yang sempurna dalam masalah pengamalan agama, tetapi bukan berarti menjadi kebolehan meninggalkan tugas dakwah. Satu hal yang harus diketahui, dakwah artinya mengajak. Mengajak kepada kebaikan bukan berarti kita telah melakukannya seperti seseorang mengajak temannya shalat berjamaah ke masjid. Dakwah juga berbeda dengan menyuruh. Berbeda pula dengan dengan mengajarkan ilmu syariat atau hukum-hukum dalam Islam, maka semua ini adalah kewajiban para ulama.  Pastinya ketika berdakwah, kita juga harus terus berbenah diri, baik dari segi kuantitas dan kualitas ilmu dan amal.

“Perkataan yang benar,” baik perkataan mengingatkan akan ketauhidan, keagungan juga menyampaikan kalimat hak yang tentu juga dengan cara yang hak.  

Di dalam Al-Qur’an di antaranya ada dua golongan yang sering di panggil. Ya ayyuhan nas dan ya ayyuhal mu’minuun. Wahai manusia dan wahai orang beriman.

Wahai manusia, ditujukan kepada orang awam atau bahkan kepada orang yang belum beriman. Maka bahasa dan tujuannya pun berbeda dibandingkan kepada orang beriman yang biasanya sudah bersifat perintah/ kewajiban atau anjuran yang sangat utama.

“Wahai orang-orang beriman, masuklah Islam secara kaffah…”

“Wahai orang-orang beriman, carilah pertolongan dengan sabar dan shalat..”

“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu puasa…”

Sangat berbeda jika kepada “wahai manusia,” yang biasanya disuruh menyembah Allah atau bertaqwa lalu diingatkan dengan nikmat-nikmat Allah.

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dan (diri)nya, dan dari keduanya, Allah memperkembangbiakan lali-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.s. An-Nisa : 1)

Di ayat lain, Allah langsung mengingatkan nikmatnya:

“Dia yang menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia yang memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Inga-tlah! Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun.” (Q.s. Az-Zumar : 5)

Tak kenal maka tak sayang, kata pepatah yang sangat familiar. Memang benar, ketika manusia mengenal banyak kebaikan seseorang, maka akan tumbuh rasa suka. Jika terus dipupuk, akan berlanjut rasa cinta. Rasa cinta inilah yang melahirkan ketundukan, bahkan pengorbanan dan keikhlasan.

Seseorang yang tidak begitu mengenal kebaikan atau keindahan, tidak akan bisa mencintai apalagi menaati. Memang cinta bisa tumbuh karena terbiasa, namun cinta tanpa keyakinan yang kuat berisiko pupus digilas waktu.

Karena itulah, mengapa umat Islam hari ini susah untuk menaati Allah, karena hari-hari hatinya diisi dengan keperluan hidup dari bangun sampai tidur kembali, bahkan kadang terbawa mimpi. Di tempat-tempat perkumpulan mengobrolkan pekerjaan, politik, gosip juga hiburan.

 Sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah membicarakan bagaimana Allah menciptakan langit bumi. Tidak membicarakan bagaimana Allah telah membuka matanya saat itu, menyehatkan badan hingga bisa bekerja guna mencari nafkah untuk orang-orang yang dicintai. Lupa pagi itu Allah beri nikmat dalam rasa padahal hanya makan nasi dengan ikan asin. Lupa berapa senyum yang terbit di bibirnya karena Allah beri istri yang cantik lagi patuh, atau suami yang perhatian dan pengertian. Tidak menyadari lucu dan cerdasnya anak-anak itu juga pemberian Allah. Dan masih banyak nikmat-nikmat yang tak bisa dijabarkan meski hanya dalam hidungan detik. Karena itulah, kita jadi tidak begitu mengenal keindahan, keagungan dan segala segala Maha Kebaikan yang dimiliki Allah. Maka tak heran, jika kita dakwah dengan syariat, sering mendapatkan penolakan.

Dakwah yang tidak pernah salah adalah dengan mengingat nikmat-nikmat Allah dengan segala keagungan-Nya. Jika di hati-hati mereka sudah ada keAgungan Allah, akan dengan sendiri muncul sifat taat. Lalu tak bolehkah kita menyampaikan syariat yang agung? Boleh saja, hanya saja perlu kita lihat situasinya dan sejauh mana ketaatan mereka kepada Allah, serta jangan lupa dengan lembut.

“Maka berbicaralah kamu berdua kepada (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar dan takut.”(Q.s. Thaha” 44)

Di ayat ini mengajarkan kita agar berkata lemah lembut dalam berdakwah dengan harapan dapat menyadarkan lawan bicara. Bagaimana dakwah kita menyentuh hati orang lain, baik secara tutur kata, bahasa yang digunakan, argument dan sikap.

Saling memberi hadiah, salah satu pelengkap cara menarik hati orang lain seperti yang diajarkan dalam sebuah riwayat hadits, “Saling memberi hadiah, maka akan saling mencintai.”

Kita sudah dakwah dan sering memberi hadiah, tetapi mengapa mereka masih belum juga tersentuh, apalagi taat?

“Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu.” Tujuan dakwah adalah  ishlah diri dan menghidupkan suasana agama. Ibarat melempar bola ke dinding, semakin kuat kita melempar, semakin kuat pula akan memantul ke arah kita. Maka tidak benar, kalau kita dakwah untuk memperbaiki orang lain.

“Mengampuni dosa-dosamu,” Janji Allah selanjutnya. Jadi seperti apa pun respon orang lain terhadap dakwah kita, seharusnya tak perlu berkecil hati apalagi sampai berhenti dari dakwah karena janji Allah dengan diampuni dosa-dosa kita. 

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” Seperti apa pun hasil dari dakwah, mungkin yang didapat hanyalah cercaan dan makian, selama kita berdakwah dengan untuk agama dan ishlah diri, maka sesungguhnya kita telah mendapatkan kemenangan di sisi Allah subahahu wa ta’ala.

Dakwah merupakan jalan yang sangat mulia, jalannya para Rasul dan Nabi. Semakin mulia sebuah jalan, semakin banyak pula rintangannya, maka semakin tinggi pula diperlukan keikhlasan, pengorbanan, keyakinan dan ilmu.

Namun, jangan lupa agar selalu mendoakan kebaikan buat mereka. semoga Allah memberi hidayah kepada mereka, dengan jalan seperti apapun atau dengan perantara siapa pun. Para masyaikh mengatakan, dakwah pengaruhnya hanya sepuluh persen, doa di tengah malam sembilan puluh persen. Karena doa di tengah malam memerlukan keikhlasan, kelapangan dada, dan kepedulian yang tinggi. Selain itu, doa yang tidak diketahui empunya, akan diaminkan oleh para malaikat, dan doa malaikat pasti dikabulkan Allah subhanahu wa ta’ala.

Jangan pernah lelah mendoakan hidayah untuk mereka. Semakin keras kau melempar bola ke dinding, akan semakin keras pula akan memantul kepada dirimu. Berdoalah kepada Allah, agar selalu memilih kita dalam usaha dakwah.

Agama tidak memerlukan kita, tapi kita yang perlu agama dan kita perlu dakwah untuk menguatkan agama.

 

 

 

Tidak ada komentar