Di akhir tahun 2017 putriku di vonis suatu penyakit kelainan
darah. Penyakit itulah yang akhirnya mengantarkan kami menjadi salah satu warga
ruangan hemato-ongkologi anak. Ruangan rawat inap bagi anak-anak penderita
kelainan darah, kanker dan tumor. Seringnya opname membuat antara pasien dan
orang tua satu sama lain saling mengenal, akrab bahkan sudah seperti saudara
sependeritaan dan sepenanggungan.
“Yang sabar ya!” kalimat yang sering kami dengar dari
orang-orang besuk. Kalimat empati, namun bagi kami kadang kalimat itu terdengar
terlalu sederhana, bahkan cenderung basi. “Begini kami sudah sabar,” “harus
sabar seperti apa lagi?”, dan kalimat-kalimat serupa dalam tanggapan senyuman
yang kami berikan. Situasi kami memerlukan motivasi booster. Namun adakah lagi
kalimat selain sabar? Kalimat sabar sebenarnya solusi terbesar ketika
menghadapi berbagai ujian, tapi kenapa bagi kami itu terlalu sederhana?
Banyak ragam reaksi orang tua ketika mendapati buah hatinya didiagnosis
adanya kemungkinan menderita penyakit kanker atau kelainan darah. Meski hanya
kemungkinan, namun nama-nama penyakit tersebut begitu familiar dengan
kemoterapi atau kematian. Hal ini sudah membuat ada orang tua yang pingsan,
shock, marah-marah bahkan ada yang seperti orang gila. Mendapatkan hasil
positif menderita suatu biasanya setelah beberapa dari hasil BMP (Bone Marrow
Puncture/Tes tulang sumsum). Vonis itu hanyalah awal dari sebuah ujian seperti
kita memasuki sebuah pintu yang di dalamnya memaksa kita harus bergerak dan
berjuang agar penyejuk mata bisa bertahan hidup dengan menjalani terapi dengan
risiko cukup berat dan tidak sedikit dengan berujung kematian.
Tindakan awal-awal pasien di ruangan ini biasanya
membutuhkan tranfusi darah yang tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bagi
ekonominya pas-pasan tentu ujian yang sangat berat. Perasaan masih shock dengan
diagnosa, lalu pikiran kita dipaksa untuk mencari solusi agar mendapatkan darah
dari PMI yang kadang jumlahnya tidak sedikit. Penomena ini membuatku banyak
berpikir, dan mengingat-ngingat bagaimana reaksiku ketika mendapati anakku
didiagnosa penyakit yang cukup serius? Apakah aku termasuk orang sabar?
Dibanding sabar, aku hanya berspekulasi bahwa aku tak punya
tenaga untuk mengeluh. Memang sudah seminggu kami wara wiri dari satu poli ke
poli lain hingga akhirnya berakhir ke poli anak dan dari sana anakku disuruh
opname ke ruangan hemato-ongkologi. Antrean yang panjang sudah membuatku lelah
hari itu, lalu mengantar anak ke ruangan, berurusan dengan administrasi, lalu harus
pergi ke PMI untuk mendapatkan darah yang jalannya saja belum kuketahui.
Habis Maghrib sampailah aku di PMI dan – Alhamdulillah –
darah delapan kantong tersedia juga uangku mencukupi untuk
menebusnya. Selama menunggu proses darah aku terasa baru bisa bernapas dan saat
itulah aku merenung banyak. Bagaimana aku bisa melewati hari itu sendirian?
Satu hal yang kusyukuri dalam diriku adalah aku tipe menanggung masalahku sendirian. Dari pagi tak terpikirkan olehku untuk mengharapkan bantuan suami (kebetulan suami saat di luar daerah), orang tua, saudara atau siapa pun. Siang itu aku menelpon ipar untuk minta bantuan karena aku belum shalat Zuhur, sedang jam sudah menunjukkan jam dua, lagi pula anakku sudah di ruangan. Lalu di PMI aku menelpon saudaraku karena tak ingin disalahkan kalau saja terjadi situasi buruk. Aku tak bisa membayangakan andai saja situasi aku mengingat suami atau siapa pun untuk meminta bantuan atau sekadar curhat. Mungkin saja akan aku akan diserang panik, kecemasan atau kesedihan.
Satu hal yang kusyukuri dalam diriku adalah aku tipe menanggung masalahku sendirian. Dari pagi tak terpikirkan olehku untuk mengharapkan bantuan suami (kebetulan suami saat di luar daerah), orang tua, saudara atau siapa pun. Siang itu aku menelpon ipar untuk minta bantuan karena aku belum shalat Zuhur, sedang jam sudah menunjukkan jam dua, lagi pula anakku sudah di ruangan. Lalu di PMI aku menelpon saudaraku karena tak ingin disalahkan kalau saja terjadi situasi buruk. Aku tak bisa membayangakan andai saja situasi aku mengingat suami atau siapa pun untuk meminta bantuan atau sekadar curhat. Mungkin saja akan aku akan diserang panik, kecemasan atau kesedihan.
Dalam lelah aku hanya menyertakan nama Allah dalam setiap
desahku. Meski aku mengkhawatirkan biaya rumah sakit dan pengobatannya,
setidaknya aku bersyukur sudah bisa menebus darah delapan kantong untuk anakku.
Bagaimana besok biarlah waktu yang menjawab. Satu hal lagi yang sangat
kusyukuri adalah keberadaan Allah. Mengingat saja membuatku lebih tenang. Saat
itu, aku tidak percaya diri untuk mengharapkan keajaiban dari Allah. Tapi
bagiku, adanya Allah saja itu sudah lebih dari cukup. Aku tak bisa membayangkan
seandainya Allah tidak ada di hatiku jika menghadapi situasi seperti itu
seorang diri.
Setelahnya apakah aku termasuk orang sabar? Entahlah. Aku
hanya bisa berspekulasi bahwa aku hanyalah menjalani takdirku dengan seni
hingga membuat semuanya terasa santai. Keluh kesah hanyalah membuat situasi
runyam yang nantinya akan berdampak pada psikis anakku sebagai penderita. Di
balik senyuman, aku pun mengkhawatirkan biaya rumah sakit, terlebih lagi anakku
saat itu terus saja transfuse dari dengan jumlah yang tidak sedikit. Dan
keolengan psikis, aku mengakui ini, kadang ketika melihat daun yang jatuh aku
berharap itu uang. Namun ketidakwarasan pemikiran segera ditutupi dengan senyum
konyol mengingat aku mempunyai jiwa penulis yang kadang mempunyai ide-ide
konyol.
Beban biaya agak berkurang setelah kartu BPJS keluar, meski demikian
kebutuhan terus saja membengkak dengan sering masuknya ke rumah sakit.
Lagi-lagi aku berpikir, dibanding sabar, aku hanyalah menikmati jalanku dengan
senyuman dibumbui dengan berbagai seni agar keperluan terapi anakku terpenuhi.
Begitulah seterusnya.
Perasaan lelah sudah pasti, tapi untuk apa mengeluh? Atau
memang situasi tidak mengijinkan kami mengeluh? Di samping harus bolak balik ke
rumah sakit, kami juga harus memikirkan untuk mencari biaya yang tidak sedikit.
Meski pengobatan ditanggung BPJS, kami masih harus memikirkan hidup di rumah
sakit plus biaya sewa rumah bagi yang berasal dari luar daerah, asupan anak
dengan harapan membantu penyembuhan terapi, dan berbagai kebutuhan lainnya.
Cobaan psikis lainnya adalah kami juga harus sering melihat jarum ditusuk ke anak-anak
kami yang kadang harus berkali-kali baru darahnya keluar, jeritan mereka, gejala-gejala yang mengkhawatirkan, juga kerewelan mereka,
juga situasi-situasi buruk lainnya di rumah seperti tetangga di bangsal
meninggal – ini tentu juga merupakan pukulan buat kami dan anak-anak lainnya.
Dalam situasi seperti ini, sabar seperti apa lagi yang harus kami miliki?
Karena itulah kata sabar kadang terdengar basi buat kami, tetapi adakah lagi
selain kata sabar?
Itu yang selalu menjadi pertanyaanku. Terlintas kata ikhlas.
Kebanyakan dari kami sudah pasrah dengan ketentuan yang diterima dengan terus
berharap Allah memberikan keajaibannya. Lalu adakah lagi selain kata ikhlas dan
sabar? Harapan? Apalagi yang kami miliki selain harapan? Tanpa harapan, mungkin
anak-anak kami hanyalah tinggal nama dan kenangan indah mereka.Tiga kalimat ini
terlalu sederhana untuk kami, jiwa-jiwa rapuh kami membutuhkan lebih dari itu.
Hingga akhirnya Allah menyadarkanku akan ayat 200 dari surat
Ali Imran yang artinya:
“Wahai orang-orang beriman, dan kuatkanlah kesabaran
kamu, bersiap siaga lah kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
kemenangan.”
Meski dilihat secara teks ayat ini mengajarkan sikap yang harus
dimiliki ketika menghadapi peperangan. Namun secara luas, ajaran dalam ayat ini
untuk seluruh situasi dari berbagai ujian. Ayat ini mengingatkan kita agar
memiliki empat sikap dalam menghadapi ujian.
Pertama sabar. Sabar di sini merupakan reaksi spontan ketika
menghadapi ujian. Yang kadang di situasi pertama saja kita sudah kalah. Kadang
langsung saja kita dikuasai amarah dan kekecewaan, yang nantinya setelah
beberapa saat kemudian kita akan menyesalinya. Karena itulah, kita harus
membiasakan sifat sabar dan tenang agar ketika menghadapi situasi buruk kita
tidak langsung bertindak dengan gegabah yang bisa menimbulkan keburukan pada
diri dan orang di sekitar kita. Lalu bagaimana kah kita bisa memiliki sifat sabar
seperti ini? Syaratnya iman.
Sebelum menyebut sifat sabar, Allah terlebih dahulu menyebut
orang-orang beriman. Karena orang-orang beriman di hati mereka ada Allah,
sehingga ketika mereka menghadapi situasi mengejutkan mereka ingat Allah.
Ketika mereka mendapatkan musibah mereka sadar itu dari Allah lalu bersabar.
Ketika mendapat nikmat mereka ingat Allah, lalu bersyukur.
Pesan kedua, pertahankan kesabaran. Dalam tafsir Al-Azhar,
Buya Hamka menyinggung mempertahankan kesabaran laksana menahan napas dalam air.
Siapa paling tahan menahan napasnya, dialah yang yang menang. Dan siapa yang
paling pendek napasnya, maka dia yang paling cepat muncul ke permukaan air.
Ketika mendapatkan suatu ujian, kita pasti dihadapkan dengan
berbagai konsekuensi dari ujian itu. Ketika seseorang diuji dengan kehilangan,
ia akan mengalami kekurangan bagi yang ekonominya pas-pasan. Ketika seseorang
diuji dengan kematian, ia akan dilanda kesedihan, kesepian dan kadang terpaksa
harus mandiri agar hidup terus berjalan. Ketika anak kami di uji dengan
penyakit serius, maka kami harus mempertahankan kesabaran dan terus berjuang
agar anak kami mendapatkan kesehatan.
Berita kematian juga merupakan ujian bagi kami. Meski berita
menjadi sangat akrab bagi telinga kami, tetap saja memengaruhi mental baik
pasien atau pun orang tua. Lagi-lagi dan terus lagi-lagi dituntut
mempertahankan keasabaran, tetap optimis atau bangkit lagi meski telah
mengalami beberapa kali down. Dalam situasi ini, tak ada jalan lain selain
mempertahankan kesabaran seperti menahan napas di air. Jika tidak, kita akan
muncul ke permukaan air, sedang bahaya selalu siaga mengintai.
Pesan ketiga, bersiap siaga. Di awal-awal menjalani terapi,
mungkin bisa disiplin baik menjalani tahapan-tahapan terapi atau menjauhi
hal-hal yang bisa memperlambat proses penyembuhan atau memparah penyakit, di
antaranya menahan dari godaan pantangan makanan. Tetapi, lama-lama penjagaan
atau kedisipilinan perlahan mulai kendur. Apalagi kadang kondisi pasien
memperlihatkan hasil yang baik, bahkan ada yang dinyatakan telah negative dari
sel-sel kanker, sehingga lengah, baik dalam control ulang atau pola hidup,
sementara bahaya masih saja mengancam. Perlahan bunga-bunga mulai berjatuhan.
Setiap saat pasien dituntut agar senantiasa menjaga asupan
gizi, menjaga pola hidup juga menjaga emosi supaya imun tubuh bisa bertahan
dari serangan sel kanker atau infeksi virus yang setiap saat juga senantiasa
mengintai.
Di sisi lain, kadang karena merasa sakit, pasien
bermalas-malasan. Baringan, pegang hp sambil berharap datangnya keajaiban. Tentu
ini sikap yang sangat keliru. Penyakit demam saja, kita harus bergerak, minum air putih
yang banyak, memperhatikan asupan untuk tubuh, lalu istirahat yang cukup. Apalah
lagi untuk penyakit yang serius. Memang kadang untuk penderita kanker atau
kelainan darah kadang harus terbaring di atas ranjang, tetapi dengan mengisi
waktu hanya dengan nonton lewat hp, maka justru bisa berdampak buruk buat
pasien. Pada tubuh yang lemah, justru lebih membutuhkan semangat kuat. Karena itulah,
ia harus mengisi semangatnya dengan mencari berbagai informasi positif seperti
membaca buku, membaca Al-Qur’an atau mengembangkan imajinasi dengan menulis. Menonton
lewat hp – meski menghibur – kita tidak dapat menghindari pengaruh radiasi juga
merupakan kelalaian psikis kita.
Pesan ke empat adalah menjaga takwa, dan bagian inilah yang
paling penting serta mengistimewakan
kita sebagai kaum beriman dibanding dengan makhluk Allah lainnya. Semua
makhluk pasti Allah uji dan betapa mereka juga tangguh dan tahan uji. Pasukan
kafir saja untuk menjadi seorang panglima pasti telah mengalami berbagai ujian sehingga
pribadinya tangguh dan dipercaya oleh banyak orang. Para ilmuwan barat ketika
mereka menemukan sebuah pengetahuan baru atau menciptakan penemuan baru pasti
mereka telah menemukan banyak rintangan, cemohan, dan mengorbankan banyak hal
hingga akhirnya mereka menuai keberhasilan. Hewan pun kadang harus menghadapi
berbagai kesengsaraan sebelum mereka mendapatkan apa yang diinginkan atau jatuh
dalam kebinasaan. Ada saatnya seekor ikan harus bertahan ketika terjebak dalam
kekeringan sampai akhirnya datang air atau mengembuskan napas terakhirnya. Tak
terkecuali kita orang beriman, pasti juga mendapatkan ujian. Yang membedakan
kita dengan mereka hanyalah menjaga takwa.
Di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 115 dijelaskan:
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Yang membedakan kita dengan mereka adalah ketakwaan, sayangnya
telah terabaikan oleh banyak orang. Banyak yang tidak shalat dengan alasan kemiskinan,
di lain orang karena kekayaan. Di lain kasus, betapa banyak orang melakukan
kecurangan, pencurian bahkan menjual agama dengan alasan kemiskinan. Dan selalu
saja ada alasan untuk pembenaran kita dalam melakukan sebuah kesalahan. Pada
kenyataannya itu menandakan kelemahan kita.
Memang dalam situasi-situasi tertentu terkadang membuat kita
kesulitan untuk menjalankan perintah Allah seperti seseorang yang terikat
karena pekerjaannya. Ketika shalat Zuhur sudah masuk, waktu istirahat belum
tiba-tiba. Di lain orang, yang swasta, bekerja sendiri, pas waktu waktu shalat
datang pekerjaan sedang menumpuk. Dengan dalih sebentar lagi…sebentar lagi,
akhirnya waktu shalat pun telah berlalu datang waktu shalat baru. Begitulah
seterusnya.
Begitu juga orang sakit. Meski sakit, untuk orang dewasa,
shalat tetap diwajibkan. Bahkan ada tata cara shalat orang sakit agar shalat
tetap bisa tertunaikan. Mungkin sedikit merepotkan, tetapi shalat justru sangat
dibutuh untuk menjaga kestabilan semangat, kesabaran dan keikhlasan. Begitu juga
dengan amalan shaleh lainnya seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir membaca buku agama dan sedekah. Semakin tinggi
nilai spiritual kita akan membuat dada semakin lapang, tawakkal, dan semangat sehingga
semakin tinggi pula persentasi untuk mencapai kesembuhan.
Dr. Taufik Pasiak[1]
mengatakan, “Spiritualitas telah menjadi bagian terpenting dari kesehatan. Bahkan
spiritualitas juga memiliki daya penyembuh yang sangat kuat.”
Seperti apapun situasi dan kondisi jika kita memang peduli
dengan perintah Allah, kita pasti bisa untuk melakukannya. Jangankan untuk
urusan agama, dalam hal perut saja Allah bantu, bagaimana lagi dalam hal yang mulia. Pada dasarnya dari
awal kita memang tidak atau kurang memedulikannya, Lalu terabaikan hanya dengan
sebab situasi yang kadang sebenarnya sangat sepele.
Menjaga ketakwaan kunci dari kesuksesan itu seperti
yang dikatakan di ujung ayat 200 dari surat Ali Imran tersebut. Dengan menjaga
ketakwaan juga pada dasarnya menjaga kekuatan fisik dan psikis kita. Sifat
takwa akan membuat pikiran kita lebih lapang dan terbuka sehingga kita akan
lebih sabar dan ikhlas. Takwa akan membuat pikiran lebih tenang sehingga akan
mudah menemukan solusi-solusi untuk penyelesaian masalah. Takwa akan membuat
kita selalu berpsotif thinking. Dan pada akhirnya akan membuat jasmani kita
lebih relaks, tetap sehat dan imun semakin kuat. Takwa akan mendekatkan kita
dengan pertolongan Allah seperti janji Allah di atas, entah dengan
keberhasilan, kesehatan atau dengan scenario lain yang tak kalah
indah. Andai dengan kematian, tetapi dengan ketakwaan akan membuat kita lebih
tegar, ikhlas dan pasti akan menemukan kehidupan yang lebih baik serta di sisi
Allah akan mendapat pahala yang besar untuk di akhirat kelak.
Alhamdulillah, Allah telah memberi saran untuk kita ketika menghadapi situasi-situasi sulit dan berat. Pastinya saran Allah bukanlah sekadar omongan belaka. Ketika Allah memberi ajaran, perintah atau pun saran, Allah pasti akan memberi jalan kemudahan serta pertolongan-Nya untuk kita. Tinggal kita bagaimana memilih langkah.
Lalu ketika membesuk orang sakit, sanggupkah kita memotivasi dengan kalimat “Sabar, ya! Jaga shalat, dan jangan lupa baca Qur’an!”?
Alhamdulillah, Allah telah memberi saran untuk kita ketika menghadapi situasi-situasi sulit dan berat. Pastinya saran Allah bukanlah sekadar omongan belaka. Ketika Allah memberi ajaran, perintah atau pun saran, Allah pasti akan memberi jalan kemudahan serta pertolongan-Nya untuk kita. Tinggal kita bagaimana memilih langkah.
Lalu ketika membesuk orang sakit, sanggupkah kita memotivasi dengan kalimat “Sabar, ya! Jaga shalat, dan jangan lupa baca Qur’an!”?
Kalau kita memang benar-benar peduli, kita pasti bisa.
[1]
Kepala Devisi Neurosains/Neuroanatomi Departemen Anatomi-Histologi, Fakultas
Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dalam seminar Healthy Brain for
Healthy Life, di MRCCC Siloam Semanggi, Sabtu (14/1/2012), di Jakarta.
(Kompas.com)
gambar dari islam.nu.or.id
Tidak ada komentar