Menu
Cahaya Akhwat

Menelisik Psikologis Perempuan dengan Ayat-ayat Al-Qur'an

Menelisik psikologis perempuan melalui ayat-ayat Al-Qur’an



Foto dari PicsArt

Di dunia maya sempat viral berita seorang ibu yang menggorok anak-anaknya. Atas kasus ini, ada yang membela dan menyalahkan. 


Ya, memang menggorok anak untuk seorang ibu seperti sebuah kemustahilan. Seorang ibu sanggup melakukan, patut dicurigai kalau dia memiliki gangguan jiwa. Dan mengapa dia sampai mengalami gangguan? Pastilah banyak yang harus diusut, baik  latar belakang lingkungan dia lahir dan dibesarkan, juga akhirnya menikah dengan siapa. Sampai di sini, yang paling sering patut diminta pertanggung jawaban adalah suaminya. 


Dalam kasus masing-masing mengemukakan pendapatnya, bahkan ajaran Islam pun disangkut pautkan. Yang disayangkan, terjadi perdebatan, dengan ada berpendapat bahwa tindakan itu menunjukkan tanpanya ada iman dan ilmu. Di sisi lain, ada mendebat, apa hubungan psikologis dengan iman?


So, aku di sini tidak ingin membahas itu. Aku hanya mengurai sedikit psikologis perempuan yang diambail dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dan itu pun tentunya, hanyalah sedikit. 


🖍️ Zulaikha


Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung." (QS. Yusuf: 23)


Ayat ini menceritakan seorang perempuan bernama Zulaikha yang tergila-gila kepada pembantunya sendiri, Yusuf as. Yang mana dikatakan, Yusuf memang sangat tampan dan pada saat usia ibarat bunga saatnya sedang mekar. 


Yusuf memang tampan, tapi Zulaikha juga bukan perempuan bodoh yang tergila-gila hanya karena fisik. Zulaikha seorang istri pejabat, tentu bukanlah sembarang perempuan yang pantas mendampingi seorang pejabat. Jadi tidak mungkin akalnya tumbang hanya karena seorang pembantu. 


Mungkin saja. Seperti yang dikatakan banyak orang, "cinta itu buta."


Namun yang kita dapatkan di sini, perempuan itu mempunyai sifat “ekstrim’ perasaan entah positif atau negatif jika sudah tertuju pada satu objek. 


Contohnya Zulaikha yang tergila-gila dengan Yusuf. Atau Istri Abu lahab yang sangat membenci Rasulullah, waktunya habis hanya untuk menyebarkan fitnah. Padahal juga, Abu Lahab seorang pemuka Quraisy, tentu istrinya juga buka kaleng-kaleng. Namun begitulah, kadang perempuan memiliki perasaan yang sulit dikendalikan. 


Penomena sekarang banyak terjadi, seperti perempuan yang tergila-gila dengan laki orang. Di antara sekian yang menjadi istri kedua atau selanjutnya, pasti ada terjadinya pertarungan batin. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Baik itu nafkah, anak-anak, status yang kadang tidak terdaftar, gunjingan orang-orang dan lain sebagainya. Namuni begitulah, ketika keinginan kuat, kadang mengalahkan seribu logika. 


Karena itu, jangan heran jika ada perempuan mengalami kekerasan dan kezaliman dalam rumah tangganya, tetapi masih saja bertahan. Kita sebagai penonton, pingin rasa ngumpat dengan mengatakan, "kamu itu bod*h." 


Kita menilai begitu, karena kita tidak memiliki perasaan sedalam itu.



Kita berlindung kepada Allah dari perasaan seperti ini. 


Kabar baiknya, jika perasaan ekstrim tercurah pada keluarga dan anak-anaknya. Tak heran jika kita melihat banyak perempuan sanggup bekerja keras demi keluarga, padahal pekerjaan rumah saja sudah cukup membuat lelah. Tak heran, jika ada seorang ibu mengorbankan nyawanya untuk anak-anaknya. 


🖍️Maryam


“Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS. Maryam:23)


Pada kasus viral seorang ibu yang mencelakai anak-anaknya, ayat ini juga lewat di beranda sosmed. Padahal kasus ini  tidak bisa disandarkan pada cerita Maryam. 


Maryam perempuan salehah saja sampai berpikir begitu, bagaimana dengan kita wanita biasa? Mungkin begitulah kira-kira pikiran kita. Jangan samakan kasus Maryam dengan kasus zaman now. 


Pertama : Maryam hanya berandai ingin mati, bukan mencelakai anaknya. Seperti apapun gunjingan yang ia terima, kemiskinan yang terus saja mendera dalam membesarkan anak seorang diri, lapar tanpa suami dan keluarga, lapar menjadi keseharian mereka, tetapi tidak sedikit pun Maryam berpikir membunuh anaknya.


Memang ada situasi perempuan yang merasa ingin rasanya mati, pingsan sejenak, ingin waktu berhenti, atau menelan obat tidur. 


Itu memang benar, ada saatnya perempuan berpikir begitu karena sifat manusia yang mempunyai keterbatasan. Tapi bukan ingin mencelakakan keluarganya. Apalagi jika dilihat dari ayat di atas (ayat Zulaikha), justru seharusnya anak-anak membuatnya terus bertahan, dan berjuang. Jadi kasus mencelakai anak itu sudah bertolak belakang dari sifat perempuan yang memiliki perasaan cinta yang luar biasa. 


Kedua : perasaan ingin mati Maryam karena memikirkan Marwah dan agama. Apa pendapat orang lain, dirinya yang menjaga mihrab hamil? Ketakutan yang sangat sulit dibayangkan. Perempuan salehah hamil? Apa bakal kata orang-orang? Jadi  bukan karena takut kelaparan. 


Ketiga: jangan menjadikan tolak ukur menjadi pembenaran. Wanita salehah saja, berbuat begitu bagaimana dengan kita? 


Ujian yang diterima Maryam, tidak ada seorangpun menimpa perempuan di dunia selain dia. Tentu tidak bisa disamakan dengan ujian yang kita terima. Selain itu, jika kita mundur ke belakang. Sebenarnya, saat Jibril masuk ke mihram dia, saat itu iman Maryam telah turun. Akibat kabar yang dia dengar bertentangan dengan fakta dan logika. Di situ ujian Maryam bermula, dan ia gagal. 


Dia (Maryam) berkata, “Bagaimana mungkin aku mempunyai anak laki-laki, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!” (QS. Maryam: 20)


Maryam yang selalu melihat mukjizat dari Allah berupa makanan yang selalu ada, bagaimana bisa berkata begitu? Ya wajar, karena dia manusia. Memang benar, tapi di situlah, titik awal kadar kesalehan dia menjadi seperti manusia umumnya. Makanan yang biasa selalu tersedia, kini tidak muncul lagi. Sejak itulah dia harus berusaha untuk menghidupi dirinya. Bahkan berat hidupnya lebih besar daripada manusia umumnya. Begitulah, satu kesalahan yang dibuat orang saleh, konsekuensi yang diterima kadang lebih berat pada orang umumnya.


Coba bayangkan, bagaimana mungkin seorang perempuan habis melahirkan harus menggoyang pohon sebesar kurma? Sebesar apa kurma yang digoyang Maryam, Allahu a’lam. 


Mungkin saja, ada bantuan malaikat di balik itu. Mungkin saja Allah menyuruh menggoyang pohon kurma, hanya untuk mengajarkan dia berikhtiar. Allahu a'lam.


Maryam saat itu sudah seperti perempuan pada umumnya. Beruntungnya, kesalehan dia masih luar biasa, sehingga masih mendapatkan bimbingan Allah dalam menapaki hidupnya. 



🖍️Bunda Musa


"Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh, hampir saja dia menyatakannya (rahasia tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah). (QS. Al-Qashah: 10)



Ibu manapun pasti akan berteriak jika melihat bayi imut yang baru saja dilahirkan mengapung di sungai. 


Dengan bantuan Allah, dia mempunyai kekuatan menahan diri, meski di ujung batas ketahanan.  



Sebagai manusia biasa, adakalanya kita mengalami situasi yang ingin rasanya berteriak. Rumah berantakan, cucian menumpuk, suaminya bisanya menuntut, anak-anak ribut, belum lagi masalah di luar seperti masalah bisnis atau lainnya. 


Di situasi seperti ini, yang sering jadi korban pelampiasan adalah anak-anak karena mereka lemah dan paling dekat. 


🖍️Istri Abu Lahab



"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). (QS. Al-Lahab: 4)


Kisah istri Abu Lahab telah disinggung di atas. Bagaimana mungkin seorang istri pemuka menghabiskan waktunya hanya untuk menyebarkan fitnah?


Begitulah perempuan, mempunyai sifat yang luar biasa. Jika cinta, sangat cinta. Jika benci, sangat benci. Mereka sanggup berkorban harta dan nyawa demi cinta atau bencinya. 


Beruntung jika yang memegang sifat ini wanita salehah, seperti Khadijah r.ha yang menghabiskan hartanya untuk agama Allah. Ummu Syarik tidak takut mati, demi menyebarkan agama Allah. Atau istri Fir’aun yang tidak takut mati demi sebuah keyakinan. 



🖍️Orang tidak mengenal Allah


“Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari mereka, mereka berjalan di bawah (sinar) itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah:19-20)



Ayat ini sebenarnya menyinggung orang-orang kafir. Pelajaran yang dapat kita ambil, begitulah situasi jiwa seseorang jika tidak mengingat apalagi tidak mengenal Allah. 


Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir dan kilat.


Masalah bertubi-tubi seperti hujan deras ditambah, gelap, petir dan kilat. 


Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati.


Ketakutan membuat penderitaan semakin lengkap. Takut miskin, ditinggalkan, mati dan banyak ketakutan yang bahkan tidak jelas asal usulnya. Awal covid, orang-orang berebut bahan makanan, masker dan bahan pokok lainnya, karena takut kelaparan. Minyak goreng mahal, kita juga diserang takut karena biaya hidup semakin membengkak. 


Berita tabung gas 3kilo meledak entah darimana, takutnya se-Indonesia. Begitulah kita. Sifat ketakutan inilah yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir dengan menciptakan dan menggiring kepada suatu opini. 


Bukankah ketakutan suatu yang semestinya, untuk melindungi diri? Memang ketakutan harus ada, tetapi tidak seharusnya rasa itu menguasai kita, apalagi sampai melakukan kegilaan dan  merugikan orang lain.


Setiap kali (kilat itu) menyinari mereka, mereka berjalan di bawah (sinar) itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. 


Pada dasarnya, segala sesuatu itu kehendak Allah. Berhasil tidaknya pada suatu usaha, itu atas kehendak Allah. Kita hanya berusaha, Allah yang menentukan. 


Bagi kita muslim atau orang yang begitu mudah mengingat Allah, mereka akan mengelola pikiran juga perasaan.


Jika kena musibah atau gagal, akan sadar bahwa ini atas kehendak Allah. Kesadaran ini, akan ciptakan hati lebih lapang, ikhlas, lalu lagi dan lagi berharap serta berusaha.


Beda dengan orang yang tidak kenal Allah, ketika gagal mereka syok, depresi dan putus asa. Beruntung, jika situasi ini ada keluarga atau teman terdekat. Jika tidak? 


*** 

Lanjut hal 2 --->>



Tidak ada komentar