Menu
Cahaya Akhwat

(Bukan) Gadis Manja


Membaca sebuah tulisan yang berisi sharing tentang masa remajanya yang dimanjakan dan menikahpun dimanjakan suaminya. Di sana ia memberi tips agar orang tua memberikan “kebahagiaan kepada putrinya agar tahu arti bahagia, sehingga ketika menikah dia tidak tunduk pada kezaliman suaminya jika menikah dengan laki-laki yang suka kekerasan atau setidaknya dia tidak takut pulang ke rumah orang tuanya.” Kurang lebihnya begitu. Maaf bila banyak salahnya.
Tulisan tersebut terinspirasi karena dia sering melihat perempuan korban kekerasan rumah tangga yang bungkam. Mau pulang ke rumah orang tua juga takut karena di rumah orang tuanya pun tidak ada jaminan rasa nyaman.

Tentu saja tulisan tersebut menuai banyak kontraversi, karena memang nasib tak semua seberuntung empunya tulisan tersebut. Karena banyak kondisi yang menuntut perempuan harus mandiri.
Lalu aku berkaca diri, mengapa aku seberuntung ini? Orang tuaku pun tak memanjakanku sehingga harus mengantarku pada laki-laki yang memanjakan istrinya. Tetapi tetap saja aku adalah salah satu perempuan yang sangat beruntung. Ketika menikah, keadaan berubah total 180 derajat dari masa lajangku. Bahkan setelah menikah aku menemukan keinginan-keinginan yang tidak aku dapatkan sebelum menikah. Pada masa remaja, untuk memiliki majalah bekas saja aku harus sembunyi-sembunyi. Untuk membeli buku fikih wanita aku harus menabung satu bulan. Tiba-tiba saja aku menikah dengan laki-laki yang punya banyak koleksi buku dan tidak pernah melarangku untuk beli buku, meski ekonomi kami pas-pasan.

Suamiku tak pernah menghalangiku untuk mencoba berbagai pengalaman di luar dunia rumah tangga, meski menghabiskan uang yang tidak sedikit dan tidak memperlihatkan hasil yang menguntungkan. Apalagi kalau dilihat dari sudut pandang dia sebagai wirausaha. Diamnya dia bagiku merupakan sebuah keajaiban.

Setelah sekian tahun menikah, siapa sangka, aku yang hanya bisa lulus SMP, itu pun melalui ujian kesetaraan, akhirnya memiliki satu naskah yang lolos di penerbitan mayor. Siapa sangka, aku yang banyak salah saat suami melakukan tes mengaji, ternyata beberapa tahun kemudian sempat menggemparkan daerahku karena hafal Al-Qur’an. Yah, seorang ibu beranak dua bisa menghafal Al-Qur’an 30 juz di rumah merupakan fenomena langka saat itu.

Finansial kami tak pernah menuntutku bekerja. Kalaupun aku melakukan kegiatan yang menghasilkan uang karena memang aku tak bisa diam dan selalu ingin mencoba. Kalaupun ada sikap suami yang membuatku kesal, itu adalah hal wajar sebagai manusia yang tak pernah sempurna, akunya saja yang terlalu penuntut.

Lalu aku terus menggali masa laluku, kenapa aku seberuntung itu? Mengapa dia yang dari entah berantah datang meminangku? Tentu saja Allah yang hantarkan dia untukku. Lalu mengapa Allah memberiku keberuntungan itu? Apakah aku mempunyai sesuatu yang istimewa sehingga Allah memberiku keberuntungan itu?

Bukankah di dunia ini ada hukum sebab musabab? Seorang Umar ibnu Khattab radhiyallahu anhu, seseorang yang pernah berniat membunuh Rasulullah, tidak serta merta langsung menjadi sahabat dan khalifah. Pasti ada alasan mengapa Allah memilihnya hingga ia bertemu Sa'ad bin Waqqash radhiyallahu anhu, lalu bertemu saudarinya, Fatimah radhiyallahu anha. Jawabannya sangat mudah. Karena sebelum masuk Islam, Umar sudah memiliki kepribadian yang tangguh, tegas, mulia dan cerdas. Memang sudah sepantasnya kalau Allah memilih Umar ibnu Khattab radhiyallahu anhu.
Lalu atas dasar apa Allah memberiku secercah cahaya melalui dia?

Masa remajaku boleh dibilang suram. Aku sempat putus asa akan masa depanku. Aku masih ingat bagaimana putus asanya saat tak bisa masuk sekolah SMP setelah melakukan berbagai upaya. Aku masih ingat masa remajaku yang sering melakukan kesalahan dan dosa. Yah, aku pernah merasakan masa-masa putus asa dan gelap gulita. Jalan terang itu baru terlihat setelah menikah.
Orang tuaku bukanlah orang yang agamis, jadi jangan harap adanya pendidikan agama dari mereka. Namun ada hal-hal yang kumiliki, yang mungkin karena itu Allah memberiku jalan yang tidak pernah kusangka-sangka. Sejak dulu, aku menyesal bila berbohong. Karena takut, aku jadi berbohong, tapi pada saat yang sama aku juga merasa takut pada Allah. Aku menyesal berbuat dosa, meski masih saja melakukannya. Aku masih ingat, aku langsung shalat tobat saat melakukan kesalahan, meski aku tak mampu berjanji tidak kan mengulanginya lagi. Aku takut pada Allah dan ingin menjadi hamba yang dicintai, tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai. Mungkin karena rasa takut itulah, Allah mempertemukanku dengan laki-laki sebaik dia.

Lalu saat dia datang, tidak serta merta tanganku terbuka. Aku mungkin orang putus asa, tapi tidak bisa langsung pasrah begitu saja. Aku juga gadis yang mengharapkan menikah dengan laki-laki yang dicintai dan mencintai. Aku menerimanya karena berharap dia bisa membimbingku untuk meniti jalan ridha-Nya. “Jalan ridha-Nya” mungkin karena harapan itulah, Allah tak pernah menyia-nyiakanku, bahkan memberiku jalan yang istimewa.

Sekadar sharing, bekalilah anak-anak dengan ilmu agama! Baik anak laki-laki atau perempuan. Arahkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadi tujuan hidup mereka dan tanamkan bahwa Allah selalu mengawasi mereka. Adapun untuk skill, apakah kita akan memanjakan atau mencetaknya menjadi perempuan mandiri, itu kebebasan individu sesuai dengan pengalaman dan pendapat masing-masing. Karena nasib seseorang pada hakikatnya semua di tangan Allah.

Mungkin nasib mereka tak seindah Fatimah yang mendapatkan cinta dari seorang Ali, tetapi dengan adanya agama pada mereka itu sudah keberuntungan. Agama akan menjadi pembimbing langkah, pengingat dan penghibur serta penyelamat mereka di akhirat kelak.
Semoga Allah memberikan beribu-ribu kebaikan pada mereka dan kita. Aamiin.
Afwan.

Tidak ada komentar