Menu
Cahaya Akhwat

Allah Tahu Kok Kondisi Kita!

#CAHYA

Allah Tahu kok Kondisi Kita! 

Cahya mendekap kedua lututnya di salah satu sudut tersembunyi di pondok tahfiz tempat dia menghafal. Dia menyembunyikan wajahnya di atas lutut. Ingin menangis, tapi tak ada air mata yang berhasil dia keluarkan. Dua bulan sudah hafalan terakhir yang dia setorkan kepada Ustadzah Salwa, tetapi tak kunjung bisa ikut tes dua puluh juzz dalam satu halaqah. Otaknya semakin kusut jika mengingat berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan ibunya yang berstatus seorang single parent. 

Semua itu bermula dikarenakan dia terlalu bersemangat menghafal. Semakin banyak hafalannya, semakin mudah mengahafal. Siapa sangka dia terjebak dalam permasalahan mengingat ayat-ayat mutasyabbihat, ditambah dua minggu sakit membuat hafalannya semakin kacau. Dua purnama sudah. Haruskah ia mundur saja? 

“Cahya!” 

Sontak gadis belia itu terkejut. 

“Di cari-cari enggak ketemu, eh di sini rupanya,” ucap Yumna, salah satu sahabatnya. 

“Ada apa?”

“Dicari Ustadzah Salwa.”

Deg. Dada Cahya berdegup hebat. Ustadzah Salwa mencarinya. Pasti memintanya tes dua puluh juzz. Adakah alasan selain itu Ustadzah Salwa memanggilnya? Ia tidak menemukan satu alasanpun. 

“Baiklah. Ana akan ke sana,” ucap Cahya pasrah. 
**

“Apa sudah ada jadwalmu untuk tes dua puluh juzz?” tanya Ustadzah Salwa lembut.

“Belum, Ustadzah,” sahut Cahya tanpa berani mengangkat wajah. 

“Kenapa?”

“Belum lancar, Ustadzah.”

“Ustadzah rasa dua bulan itu sudah lebih dari cukup untuk mengulang kalau dilihat dari setoranmu kemarin. Dan ustadzah lihat juga kamu rajin mengulangnya. Lalu kenapa jadi belum lancar?” 

Cahya tak mampu bersuara. 

“Katakanlah! Berangkali ustadzah dapat membantu permasalahanmu.”

“Cahya bermasalah di ayat-ayat mutsyabbihat dan di ujung-ujung ayat, Ustadzah.” 

Ustadzah Salwa tersenyum tipis. Ayat-ayat mutasyabbihat dan ujung-ujung ayat memang salah satu kendala bagi sebagian penghafal Al-Qur’an. Ustadzah Salwa meraih Al-Qur’an di atas rehal yang tak jauh darinya. Dia membuka mushaf secara sembarang, lalu terbuka surah An-Nisa dari halaman 80-81. Telunjuknya menunjuk ayat 12 di awal pojok dari halaman 80. “Cobalah baca terjemahan ayat ini.”

“Dan bagimu suami-suamimu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dari yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”  Cahya menyudahi bacaannya. 

“Ayat ini menjelaskan tentang apa?”

“Tentang pembagian warisan yang ditinggalkan pasangannya, Ustadzah.”

“Ada yang menjadi pertanyaanmu mengenai pembagian warisan di ayat ini?” tanya Ustadzah Salwa. 

Cahya membuka mulutnya, tetapi ia urung mengungkapkan.

“Tanyakan saja. Siapa tahu ini membantumu untuk mengingat kalimat-kalimat yang mirip di ujung ayat.”

Cahya mengangkat wajahnya.  “Mengapa laki-laki dan perempuan tidak mendapatkan bagian yang sama jika pasangannya meninggal? Mengapa laki-laki seperdua, sedang perempuan hanya seperempat jika mereka mempunyai anak? Mengapa tidak disamakan saja? Bukankah jika suaminya meninggal, otomatis anak-anaknya dalam tanggungannya?”

Ustadzah Salwa tersenyum lebar mendengar rentetan pertanyaan Cahya, salah satu santrinya yang cukup kritis dan cerdas. 

“Hanya Allah yang tahu betul, Cahya,” jawab Ustadzah Salwa lembut. “Tetapi kita dapat menguak sedikit hikmah dalam aturan ini, di antaranya karena laki-laki bertanggung jawab nafkah kepada istri-istri, anak-anak dan mungkin juga ia menanggung nafkah ibu dan saudara perempuannya yang tidak mempunyai suami.  Berbeda dengan perempuan. Mengapa perempuan hanya mendapatkan separuh dari laki-laki? Di antaranya karena perempuan tidak memiliki tanggung jawab nafkah kepada keluarga. Anak-anaknya juga sudah mendapatkan hak waris dari ayahnya. Ibunya yang jika sudah janda menjadi tanggung jawab saudara laki-lakinya. Apa yang didapatkan perempuan sepenuhnya menjadi miliknya pribadinya. Nah dari sini kamu dapat mengerti kan mengapa di ujung ayat ini menggunakan kalimat ‘aliimun?”

Cahya mengangguk. “Karena Allah lebih mengetahui keadaan kita, jadi Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Tapi, Ustadzah, Cahya jadi ingat, Cahya pernah lihat video viral seorang perempuan berjilbab makan daging babi. Katanya dia tinggal di negeri mayoritas non muslim. Dia sempat berkata, ‘Allah juga tau kok, keadaan kita di sini kaya gimana?’ Jadi itu gimana, Ustadzah?”

Ustadzah Salwa mendesah keras. Dia memang tidak menonton video, tetapi dari cerita Cahya saja dia sudah sangat menyesalkan.

 Bagaimana bisa seorang perempuan berjilbab memposting sedang mengonsumsi daging babi? Sebagai seorang muslimah, dia pasti tahu umat Islam dilarang makan babi. Kalau memang keadaan memaksanya, kenapa harus dipublikasikan ke orang banyak? 

“Jadi maksud perempuan itu, Allah akan memaafkan karena keadaan mereka?” 
Cahya mengangguk ragu. 

“Sebelumnya kita membahas kalimat di ujung ayat ini dulu,” ucap Ustadzah Salwa lembut. Cahya mengangguk setuju. 

“Sekarang halimun yang artinya Maha penyantun. Kalimat ini mengisyaratkan seperti apa pun aturan dari Allah, itu sudah merupakan yang terbaik dari kebijakan dari segala Maha Mengetahui dan Maha Penyantun Allah. Allah menciptakan kita, tentu Allah lebih tahu keadaan kita dan lebih tahu yang terbaik buat kita. Allah menurunkan suatu hukum itu tidak melebihi dari batas kemampuan kita. Allah memberikan suatu kewajiban karena itu yang terbaik buat kita, dan bisa memberi mudharat bila kita meninggalkannya. Begitu juga dengan larangan, Allah melarang karena itu memberi mudharat pada kita. Nah dari sini kita dapat mengetahui betapa Allah sangat sayang dan santun kepada kita.”

Cahya menyimak tanpa berani mengedipkan mata. Dia takut ada yang terlewatkan. 

“Lalu mengenai pernyataan seperti ‘Allah tahu kok keadaan kita’, kemudian berani melanggar, itu pembenaran yang menjerumuskan kepada kebinasaan. Seharusnya dengan kalimat itu lebih menyadarkan kita bahwa apa yang Allah atur, larang, berikan maupun Allah ambil dari kita, itulah yang terbuat buat kita. Seharusnya itu membuat kita lebih taat, bukan malah menjadikan pembenaran. Kembali kepada perempuan yang di video itu, yang katanya dia tinggal di daerah mayoritas non muslim sehingga susahnya mendapatkan daging yang halal, bukankah dia bisa mengonsumsi makanan lain misalnya telor, ikan, atau sayuran?!”

Cahya kembali mengangguk.

“Sekarang kita kembali ke topik awal. Jadi kamu memahami kan, mengapa di ujung ayat ini kalimat aliimun hakim?”

“In sya Allah, Ustadzah.”

“Lalu kenapa tidak menggunakan kalimat aziizun hakim, seperti ayat lain?!”

“Karena ayat ini tidak menceritakan ke Maha Perkesaan dan ke Maha Adilan Allah, Ustadzah,” jawab Cahya setelah cukup lama berpikir. 

“Jiddan. Nanti jika kamu bertemu ayat yang di ujungnya kalimat aziizun hakim, cobalah kau pelajari intisari dari ayat itu! Ayat tersebut menceritakan tentang apa, pasti kamu akan menemukan fakta bahwa azizun hakim memang tepat untuk kalimat itu. Begitu juga dengan ayat-ayat mutasyabbihat, jika kita menemukan alasan-alasannya, in sya Allah kita akan mudah mengingatnya.”

“In Sya Allah, akan Cahya coba. Terima kasih, Ustadzah. Cahya pamit dulu.” 

**
Di luar pintu Cahya menghirup udara dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya, sejenak menatap bintang-bintang penghias langit dengan hati yang lega dan bahagia. Tehnik yang diajarkan Ustadzah Salwa tidak hanya sangat membantunya dalam menguatkan hafalan, tetapi memberi ilmu baru mengenai ayat 12 dari surah An-Nisa tersebut. Baginya mendapatkan pemahaman satu kalimat saja dalam Al-Qur’an sudah cukup membuatnya semakin semangat menghafal Al-Qur’an. 

#edukasi menghafal Al-Qur’an 
#membersamai Al-Qur’an
#mencetak generasi Qur’ani

Tidak ada komentar