Menu
Cahaya Akhwat

BAHAGIA ITU TERLETAK PADA MATA HATI


 


Sebenarnya cerita ini lama sekali, namun karena banyak memberiku hikmah hingga sampai sekarang masih berbekas. Hari itu seseorang menceritakan saudaranya yang sangat bersedih karena usahanya gagal, padahal modalnya hanya lima puluh ribu dari hutang kepada orang lain. Memang saat itu lima puluh ribu rupiah sesuatu yang sangat besar.

Aku tercenung mendengar cerita itu, karena baru saja kami mengalami musibah yang menghanyutkan jutaan rupiah dan semuanya juga modal dari orang lain dan anehnya tak ada air mata saat itu. Aku bertanya-tanya pada diri, apakah aku termasuk orang yang sombong atau tak bertanggung jawab dengan harta orang lain?

Kejadian itu terjadi pada waktu kami masih tinggal di daerah pegunungan dan di depan gubuk kami ada sebuah kolam lumayan besar, pastinya untuk mengisi bibit dan perlengkapan lain menghabiskan jutaan rupiah. Qudratullah, pada suatu hari siang Allah datangkan hujan yang sangat lebat, air datang dari tiga arah yang masuk ke kolam. Air bah dari gunung, sungai, dan hujan.

Aku sudah berusaha mengantipasi penyelamatan, namun baru saja mencelupkan kaki, aku berpikir bagaimana kalau aku kenapa-napa, akhirnya aku mengurungkan niat mengingat anakku yang masih kecil.

Kebetulan saat itu berhalangan, jadi hanya bisa meminta pertolongan Allah dengan berwasilah membaca Surat Yasin. Setelah membaca surat Yasin, kami tertidur dan baru terbangun pada pagi hari. Mungkin juga karena tidak memikirkan shalat, jadi tidurnya nyenyak sekali. Dan mungkin juga itu sakinah yang Allah turunkan kepada kami berdua, sehingga hilang ketakutan dalam diri kami.

Ketika bangun di pagi hari aku langsung keluar memeriksa kolam. Dan Qudratullah kolam itu sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Aku hanya bisa bertakbir saat itu. Mengagumi semua scenario di sore itu. Allah beri ketenangan di hati-hati kami, padahal di hutan itu hanya aku dan anakku yang masih kecil. Yang lebih mengagumkan, kronologi hanyutnya ikan-ikan kami.

Karena air datang dari tiga arah, jadi aku mengira kolam kami meluap dan semua penghuninya akan hanyut. Ternyata, Allah mengambil harta kami dengan cara tidak kami duga. Pipa pembuangan air kolam ternyata tertutup daun-daun, mungkin karena air tidak dapat keluar sementara air terus saja masuk dari tiga arah yang menyebabkan dinding kolam yang menjadi pembatas dengan sungai menjadi jebol – dan qudratullah – lewat sinilah semuanya penghuninya dapat membebaskan diri.

Saat itu aku tak bisa memikirkan berapa kerugian yang didapat dan bagaimana cara melunasi hutangnya? Pikiranku hanya sibuk dengan scenario-skenario Allah yang menakjubkan. Allah mengambil harta titipan dengan cara yang sedikit pun tidak pernah terpikirkan. Dan kekagumanku pada scenario Allah semakin bertambah ketika keadaan di sekitarnya. Kolam yang kemarin banyak rame dengan cuap-cuap ikan sekarang sunyi, bahkan kolamnya juga hampir kering. Aroma bekas hujan masih tercium, udara yang masih dingin, bumi yang masih basah, tanah yang terkikis, embun yang masih saja menetes pada daun, suara-suara binatang-binatang di musim hujan masih saja berbunyi, serta pohon durian tinggi dan besar tumbang tak jauh dari rumah kami. Satu lagi yang harus kusyukuri, arah tumbangnya tidak mengenai ke arah rumah kami.

Lebih mengagumkan lagi, bagaimana aku bisa melewati suasana seperti itu? Kenapa tidak ada rasa takut sedikitpun? Seandainya saja saat itu, aku berpikir suami, orang tua atau siapa pun yang dapat diandalkan, mungkin aku akan diserang panik. 

Bagaimana aku dan anakku bisa tertidur dalam situasi seperti itu? Petir guntur yang bersahutan, angin lebat, hujan deras, bahkan jika mengingat situasi kolam saja saat itu sudah membuatku panik. Satu hal lagi harus disyukuri dari tidur, aku tidak mendengar dentuman pohon durian yang tumbang. Aku tak bisa membayang sekeras apa bunyinya menghantam bunyi dengan pohon sebebar itu. Tapi mungkin juga karena tertutupi bunyi hujan, angin, petir dan guntur.

Bohong jika tidak ada rasa sedih melihat kondisi kolam yang sudah tidak bernyawa, tapi Alhamdulillah, Allah sudah mengalihkan perhatianku pada kehebatan skenarionya. Bahkan pagi itu suamiku sudah pulang. Sepertinya dia pun cukup syok melihat kondisi kolam itu. Untuk menghiburnya, aku mengingatkan bahwa itu sudah ketentuan Allah dan jika sabar dan ikhlas, Allah akan ganti dengan yang lebih baik dan besar, entah di dunia ini atau di akhirat nanti.

Meski kejadian itu sudah puluhan tahun, aku masih saja mengingatnya. Dan memang kejadian itu sangat langka dan penuh makna. Aku menganggap itu sakinah yang Allah berikan padaku dan putriku saat itu. Meski itu belum tentu menandakan anugerah khsusus, namun bagaimana pun aku harus mensyukurinya dan mengambil ibrah dari kejadian itu.

Mengapa pada saat itu aku memandang itu adalah kehebatan Allah, bukan memandang pada bunyi petir guntur menghilang nyali, bukan pada hebatnya angin yang menumbangkan pohon besar, bukan pada lebat hujan yang menghanyut jutaan rupiah, pada kesendirian kami di tengah hutan atau pemikiran apa pun yang pada akhirnya membuatku ketakutan?

Bisakah anugerah itu diberikan kepada hamba-Nya secara acak?

Memang tak patautlah satu kejadian membuat kita sombong. Dan kenyataannya dalam umurku yang panjang, aku pun pernah mengalami ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, bahkan putus asa. Dan mungkin anugerah itu hanya beberapa kali saja dalam hidupku.

Kalau dipikir-pikir, saat itu memang pekerjaanku hanyalah sebagai ibu rumah tangga, menghafal, membaca buku, tidak memiliki telelvisi juga ponsel, dan hanya memiliki sebiji radio yang setiap pagi bisa mendengarkan cerah AA gym dan Abdullah bin Ghafar (kalau tidak salah).

Dari bangun tidur sampai tidur kembali, memang keseharianku sudah terpolakan seperti itu. Tidak ada tontotan romatis ala-ala princes yang meniupkan syahwat dan janji-jani semu, serta tidak ada berita selebriti atau pun orang-orang pencari sensasi. Maka sangat wajar jika aku memiliki pandangan seperti itu meski mengalami situasi yang sangat besar.

Hal ini mengingatkanku pada cerita guruku waktu masih sekolah di madrasah. Beliau cerita, ada seorang tua guru (aku mengingatnya nama guru itu adalah Ibrahim) yang berjalan membawa purtanya. Qudratullah, putranya terlepas dari tangan, berlari dan akhir tertabrak oleh sebuah kendaraan bermotor. Menyaksikan hal itu, guru Ibrahim terdiam, lalu tak lama mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Tidak ada teriakan, atau kepanikan. Beliau memandang itu adalah sebagai kehendak Allah dan harus berlapang dada menerima.

Meski terlihat tidak normal, namun kondisi emosi seperti ini tentu lebih baik dari pada munculnya emosi negatif yang meletup-letup yang pada akhirnya menyiksa diri sendiri.

Semua orang tahu, kita memiliki pandangan yang berbeda dan tidak dapat disamaratakan. Jika kita dihadapkan pada cuaca hujan, maka setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Sebagai petani, tentu mereka memandang sabagai rezeki yang akan menyuburkan tanaman mereka. Sangat berbeda dengan penjual es, sesekali mereka bisa menerima, tapi hujan terlalu mereka akan sedih karena pendapatan yang berkurang. Tentu berbeda dengan pandangan orang yang berbeda-beda profesi atau status sosial. Ada yang menganggap hujan itu anugerah, sebaliknya ada yang menganggap bahwa itu musibah atau kesedihan.

Berbeda lagi mereka yang berpandangan segala sesuatu itu adalah bentuk keAgungan Allah.  Mereka akan bersyukur jika itu berdampak baik pada penghidupan mereka dan bersabar jika mendapatkan dampak buruknya. Bahkan ada yang selalu menganggap baik apa pun terjadi karena mereka selalu berprasangka baik kepada Allah.

Lalu apakah kondisi emosional seperti itu akan muncul begitu saja?  Tentu saja tidak. Memang itu adalah anugerah dari Allah, tapi tentu kita bisa mencapainya.

Manusia memiliki pikiran dan perasaan, dan kedua nya bermula dari otak, sedang otak menerima semua informasi dari penglihatan, pendengaran, dan perasa. Dan dari tiga indra inilah akhirnya mempolakan pikir dan perasaan kita.

“…Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (Qs. An-Nahl : 78)

Jika kita terbiasa mengisi ketiga indra ini dengan ilmu agama dan keagungan Allah, maka pikiran dan perasaan akan cenderung taat kepada Allah. Jika keseharian kita dipenuhi semangat dan informasi bagaimana berbisnis, maka kita berpotensi menjadi pengusaha yang sukses. Tetapi jika waktu kita habiskan nonton drama-drama penebar angan-angan semua, maka besar kemungkinan kita menjadi kufur nikmat dan penghayal sejati. Telah sampai kabar ke telingaku, bahwa ada seorang istri minta cerai kepada suami di pengadilan, gara-gara suaminya tidak romantis. Aku mengira istrinya ini penyuka drakor genre romance.

Jadi sebaiknya, kita luangkan waktu kita untuk menggunakan pendangan, pendengaran dan hati kita menuntut ilmu, berdzikir dan bersyukur kepada Allah. Karena hanya dengan itulah, perasaan kita akan selalu menjadi lebih sabar, syukur, lapang dada, ikhlas, memiliki sikap harap dan takut kepada Allah, selalu prasangka baik dan reda Allah menjadi tujuan.  Pandangan kita hanya tertuju kepada Allah dan Allah. 

 


 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang  terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (Q.s. Ali Imran : 190-191)

Berilah waktu menatap matahari dengan segala cahayanya. Allah yang memberi matahari. Allah memberi cahaya dan banyak makhluk di bumi mendapatkan manfaatnya. Tataplah daun yang bergoyang, angin yang berembus, debu-debu yang berterbangan, kesehatan tubuh sehingga mampu beraktifitas, rezeki yang mencukupi untuk hari itu, bibir yang tersenyum, mata mampu melihat, pendengaran yang baik, dan banyak lagi. Tidak aka nada habisnya nikmat Allah yang telah kecap, tergantung kita, apakah mau memikirkan dan mensyukuri, meski hanya sesaat. 

 

Allah tidak meminta rezeki (untuk diingat) kepada kita, tapi Allah yang memberi rezeki kepada kita (Allah selalu mengingat kita sehingga tidak pernah alpa dalam memberi nikmat-Nya kepada kita)

 

 

Tidak ada komentar