Menu
Cahaya Akhwat

Hubungan Al-Qur'an dengan Hati



Sedikit bercerita, tentang perjalanan saya bersama teman-teman ke India. Alhamdulillah, satu rombongan ada enam dan satu orang yang bisa bahasa Inggris dan Arab. Sedangkan saya pribadi tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dua bahasa tersebut.

Hari pertama di New Delhi, saya cukup bersemangat belajar dan berkumpul dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, yang pada umumnya dengan menggunakan dua bahasa tersebut. Walaupun saya tidak bisa bicara dua bahasa itu, tapi sedikit-sedikit bisa memahami mereka, itulah yang membuat saya bersemangat, dengan harapan saya pun bisa bicara.

Hari ke empat kami berangkat ke Kolkata, naik kereta api dengan perjalanan sekitar 17 jam. Jauhnya perjalanan, lelahnya tubuh dan perbedaan cuaca membuatku sakit-sakitan. Mulai sanalah,  semangat saya belajar bahasa mulai melemah.

Seiring perjalanan waktu, saya masih kesulitan berbicara. Di sinilah, ternyata dalam percakapan, tidak hanya bermodalkan kepahaman bahasa tapi juga kecakapan dalam berbicara. Dan kecakapan itulah yang belum saya miliki.

Dalam hal ini, saya tidak terlalu mempermasalahkan, karena toh masih ada teman-teman yang lebih cakap dalam berbicara dan saya biasanya hanya pasang senyum, walaupun tamu yang kadang ratusan lebih.

Tapi tidak ketika kami kembali ke New Delhi. Pulang dari Kolkata ke New Delhi, dua orang teman kami balik lagi ke Indonesia. Tinggal kami berempat, dan dua orang sakit. Tinggal saya dan satu teman yang bisa berbahasa Inggris dan Arab yang bisa diharapkan.

Tiba di sebuah rumah di New Delhi, tuan rumahnya tidak bisa berbahasa Inggris, dan anak-anaknya juga tidak pandai berbahasa Inggris. Anak-anaknya paham, tapi tak bisa mengucapkan, sama seperti saya. Beruntungnya di sana ada seorang ‘alimah yang bisa berbahasa Arab, sehingga  bisa dijadikan penyambung lisan ke orang tempatan.

Saatnya kami berhadapan dengan orang (perempuan) banyak dan mereka menanti pembicaraan kami. Ya Allah, tega nian kalau saya membiarkan teman saya bergerak sendirian!!. Tapi bagaimana caranya saya bisa membantu? Saya tidak bisa berbahasa harap Arab! Biasanya saya hanya duduk di dekatnya, dan sewaktu saya bisa membantu/mengingatkannya kalau dia lupa atau belum paham. Tapi kali ini, sepertinya dia kehabisan materi dan kelelahan. Sedangkan mata-mata tamu telah menanti!
Akhirnya, dengan berbekal hafalan seadanya saya berbicara. Pada awalnya saya hanya menyampaikan hadits dan ayat-ayat pendek, agar penerjemah mengerti. Kadang saya kasih sedikit “ramuan”, yang racik juga dari Al-Qur’an dan Hadits.

Tapi lama kelamaan materi harus berkembang, dan tak mungkin saya bisa “meracik secepat kilat” atau berbicara sambil mengingat-ngingat kosa kata. Akhirnya saya hanya bisa menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, dan saya mulai ragu apakah dia (penerjemah) mengerti apa yang saya ucapkan.

Dia memang bisa berbahasa Arab, tapi belum tentu mengerti bahasa Al-Qur’an. Memang Al-Qur’an bahasa Arab, tapi Al-Qur’an tidak bisa dipahami hanya bermodalkan bahasa Arab (setidaknya perlu mempelajari tafsirnya). Seandainya Al-Qur’an bisa dipahami dengan hanya bermodalkan bahasa Arab, maka saya kira hampir seluruh Arab akan beriman, tapi kenyataannya tidak.

Mereka mungkin bisa paham secara harfiah, tapi belum tentu mengerti kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.

Di sinilah saya mulai ragu, tapi saya harus berbicara. Saya mulai membaca beberapa ayat dari surah Hud. Ayat-ayat yang menceritakan Nuh merayu anaknya agar naik ke perahu. Saya membacanya dengan pikiran gamang, tapi kandungannya perlehan membuat hati saya pilu, hingga akhirnya ucapan saya tercekat.

Gambaran kondisi Nuh dengan anaknya muncul di benak saya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nuh saat itu. Anaknya tidak beriman, tidak mengikuti da’wahnya dan mereka terpisah oleh gelombang, dan dengan matanya sendiri, Nuh melihat anaknya tenggelam bersama orang-orang zalim. Sezalim zalim orang tua, pasti hancur melihat anaknya naas digulung ombak, apalagi Nuh, Nabi Allah, yang mempunyai keimanan tinggi dan hati yang sangat lembut.

Di tenggorokan saya seakan ada menggumpal, dan tak mampu membaca ayat selanjutnya, tapi pada saat itu saya lihat penerjemehpun juga seperti tercekat tenggorokannya. Saya lihat, dia menelan ludah yang seakan-akan berat baginya. Di sanalah saya bisa bernafas lega. Dia memahami apa yang saya ucapkan.

Dari situlah saya mengambil pelajaran; bacaan Al-Qur’an akan sambung ke hati jika kita membacanya dengan hati. Walaupun kita membacanya tanpa lantunan yang merdu.
Kita pasti pernah mengalami; hati kita terharu ketika mendengar murattal yang dilantunkan para imam hafiz. Lantunannya memang bagus dan suaranya juga merdu, tapi yang paling mendasar, mereka membacanya dengan hati. Hati kita pun hancur, jika mereka membacanya sambil menangis, walaupun sebenarnya kita tidak begitu paham.

Sebaliknya, walaupun ayat-ayat Al-Qur’an dilantunkan dengan suara yang merdu dan fasih, namun jika kita membaca tanpa dengan hati yang tawajuh (pemahaman) maka tidak akan menimbulkan kesan dalam hati.


Pelajaran yang dapat diambil; penting bagi mempelajari kandungan isi Al-Qur’an, agar kita paham apa yang kita baca dan masuk ke dalam hati kita. Membaca Al-Qur’an dengan kepahaman,  tidak hanya akan mendatangkan pahala tapi juga hidayah bagi kita sendiri juga bagi yang mendengarkan. Insya Allah. Ingatlah, Al-Qur'an surat cinta dari Allah untuk kita, rugi bila kita tidak memahaminya!

Tidak ada komentar