Menu
Cahaya Akhwat

Pengakuan





Sudah hampir  dua bulan kami menikah, dia tak jemu mengucapkan kalimat yang sama. Aku tahu, di balik ucapannya tersimpan sebuah harapan, namun untuk menjawabnya tak sesederhana rangkaian kata itu.
Setiap kali aku berusaha mengeja, yang terasa hanyalah sebuah keterpaksaan. Ya, aku menikah dengannya karena terpaksa.
Mas Akram, memiliki sebuah mini market yang kebetulan tidak terlalu jauh dengan rumah kami sehinga aku sering berbelanja di sana.

Siapa sangka, tiba-tiba Akram datang ke rumah dan melamarku. Dan ayahku yang sering bertemu dengannya di masjid, tentu sangat senang dengan lamaran itu. Tanpa babibu dan bertanya padaku, ayah langsung menerima lamaran itu. 

“Maafkan aku, Ren. Bukan aku tak mencintaimu, tapi kamu pasti tahu untuk membangun rumah tangga itu tidak bisa hanya bermodalkan cinta!” Begitulah terakhir yang kulihat, wajah keputus asaan pada mantan kekasihku. Akhirnya, aku harus menerima kenyataan bahwa Akram adalah jodohku.
Aku sangat mencintai dan ingin setia pada kekasihku. Tapi, apa yang harus kujelaskan pada ayah. Menolak lamaran seorang laki-laki baik-baik, dengan alasan memilih setia pada seorang kekasih yang tak jelas kepastiannya.

Aku menaatinya. Apa pun yang Mas Akram perlukan, akan selalu kulayani. Bahkan melayaninya melebihi daripada keperluan diriku sendiri. Aku melakukannya karena Allah dan Rasul-Nya menyuruh seorang istri mentaati suaminya. Redha Allah terletak pada reda suaminya. Aku tak ingin menyusahkan hidupku dengan kemurkaan Allah.

Sejauh ini kami baik-baik saja. Bahkan aku mulai kagum dengan sikap dan keshalehannya. Istiqamah shalat berjamaah di mssjid. Dia selalu menutup mini marketnya jika tiba waktu shalat. Bukankah ini sebuah penomena yang sangat langka? Yang mencerminkan keteguhannya memegang agama, mengalahkan rayuan dunia yang begitu manis.

Hingga suatu hari Mas Akram, secara tidak sengaja menemukan fotoku bersama mantan. Aku tak mengerti kenapa foto itu masih terselip di antara dokumenku, padahal aku sudah berusaha membuang semua kenangan masa lalu.
****
 
“Aku sudah makan tadi di luar. Sekarang aku ingin istirahat.”
Aku hampir tak percaya dengan apa yang ditangkap oleh telinga dan mataku. Tak pernah Mas Akram seperti ini. Dia selalu makan malam di rumah, dan bersamaku, walaupun ia sudah makan di luar bersama anak buahnya. Sekarang ia datang dengan sikap dingin dan tidak perduli.

Ia tahu, kalau aku tak pernah makan malam sendiri setelah menikah dengannya. Aku selalu menyiapkan makanan untuknya. Aku selalu menunggunya, walaupun seberapa laparnya perutku. Kenapa ia tega melakukan semua ini padaku?

Lelah dan rasa lapar  membuat amarahku melejit tinggi. Ingin sekali menderap, berlari, menarik bajunya, dan memarahi sikapnya yang menurutku sangat kekanak-kanakan.

Kenapa dia tidak bicara saja denganku? Kenapa ia lebih suka mendiamkanku? Seakan inilah yang pantas hukuman buatku.

Aku ingin menangis di hadapannya. Aku kecewa dengan sikap dingin dan tuntutannya. Apakah kebaktianku tidak cukup untuknya? Apakah ketaatanku tidak cukup bisa membuatnya bahagia? Tidak bisakah bersikap baik padaku sebagaimana aku bersikap baik padanya?

Kenapa ia cemburu pada masa laluku? Bukankah itu hanya sekedar masa lalu?! Masa lalu tak mungkin kembali, kecuali dia yang melepaskanku. Apakah karena pengakuan cinta yang begitu diharapkannya? Menurutku ini sangat keterlaluan!
Kenapa tidak dia tanyakan pada dirinya sebelum melamarku? Sebelum memutuskan untuk menikahiku? Sehingga dengan pertanyaan seperti itu, setidaknya ia tidak memaksakan diri menikahiku, kalau memang kata cinta itu sangat berarti baginya.

Namun kenyataannya, aku tak punya kemampuan melampiaskan kemarahan padanya, meski beribu pertanyaan memuntal dan kusut dalam benakku.

***
“Lo, kenapa mukanya kusut begitu?” celutuk Kak Rey, begitu aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Aku tak bisa langsung menjawab. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhempaskan dengan kasar.

“Kenapa? Ada masalah ?” tanya Kak Rey lembut. Lagi-lagi aku tak bisa bicara. Urusan rumah tangga bukanlah hal yang baik diceritakan pada orang lain. Tapi Kak Rey bukanlah orang lain. Lagi pula bukan  bermaksud untuk membeberkan aib rumah tanggaku. Aku hanya ingin mengurangi sesak dalam dada. Aku juga menginginkan nasihatnya. Siapa tahu, dengan bantuannya bongkahan salju di dalam rumah tangga kami bisa mencair.

“Katakanlah! Mudahan aku bisa membantu.” Kata-kata dan tatapan mata Kak  Rey yang penuh kasih sayang membuat mulutku terus mengoceh tanpa bisa dicegah.
“Jadi itu permasalahannya. Aku rasa dia tidak akan mempermasalahkan masa lalu, jika saja kamu mencintainya. Jadi…  itu bukan sekadar kecemburuan, tapi harga diri. Sebagai seorang laki-laki, aku merasa  dia juga merasa bersalah karena telah membuatmu terpaksa menikah dengannya.”
Mataku mengerjap. Terlalu sulit untuk mencerna kalimat Kak Rey. Atau mungkin karena seorang wanita, tak mengeri perasaan laki-laki. 

“Aaah, aku pun sulit menjelaskannya,” erangnya seakan memahami ketidakmengertiaku. “Lagi pula, kenapa kamu begitu ngotot tak ingin mengucapkan cinta padanya?”
“Entahlah, Kak. Aku hanya tak ingin mengucapkan yang aku sendiri tidak yakin dan aku tak ingin membohonginya.”
 “Kalau kamu merasa tak mencintainya, kenapa jadi galau begini?! Kalau orang tak cinta, justru saat seperti ini kesempatan untuk berlepas diri. Tapi kamu?! Kamu malah tersiksa dengan sikap dinginnya.”
 “Aku…” Aku ingin membantah ucapan Kak Rey, kenyataannya kebaikan-kebaikan Mas Akram, bagai slide foto yang terus berputar di benakku. “Mungkinkah cinta sekian tahun bisa berubah hanya dengan kebersamaan dua bulan?” gumamku. 

“Kalau begitu, berpikirlah untuk berpisah!”
Aku tersentak kalimat yang diucapkan Kak Rey dengan begitu ringannya. Tatapan matanya kali ini menusuk jantung. Sakit. Namun, belum sempat bibirku terbuka, Kak Rey kembali berkata. “Kenapa? Takutkan? Apa tidak cukup, ketakutan itu sebagi bukti bahwa kamu mencintainya?! Bahwa kamu ingin selalu bersamanya?!”

****
Jika ada yang memperhatikanku, pasti ada akan ada yang mengatakan bahwa aku gila. Betapa tidak. Sepanjang jalan aku tak bisa menahan lengkungan di bibirku. Kebahagiaanku membuncah.
Jauhnya dari rumah Kak Rey ke mini market Mas Akram membuat jiwaku terasa meronta-ronta. Waktu terasa merayap, sementara rindu semakin erat memelukku.
Aku memekik keras. Entah kenapa di depanku ada mobil yang keluar dari tikungan. Spontan kaki dan tanganku mengerem motorku, namun terlambat. Motorku terlanjur menabrak mobil itu. Seketika suara dentuman keras membahana di angkasa.

Setelah itu tak dapat lagi kucerna satu persatu. Semuanya terlalu cepat. Hanya senyuman dan suara Mas Akram yang berkelabat di benakku. Aku melihatnya jelas. Aku ingin menyentuh wajahnya, tapi tanganku tak bisa lagi bergerak.

Aku ingin mengatakan cinta padanya, tapi suaraku hilang. Aku berusaha untuk bergerak, tapi sia-sia saja. Bahkan perlahan, semuanya menjadi gelap dan suara Mas Akram pun hilang.

***
Apa yang terjadi denganku? Kenapa tubuhku terasa sakit dan kaku? Apakah aku tertidur terlalu lama, sehingga sangat sulit membuka mata? Berapa kali aku mengerjap. Semuanya masih buram.
“Kau sudah sadar?” suara itu, aku mengenalnya. Tapi... apa yang terjadi?
“Alhamdulillah, Kau sudah sadar. Terimakasih ya, Allah.” Pertama kali yang kulihat adalah wajah pias Mas Akram. Senyumnya mengembang sempurna, terlihat sekali kebahagiaannya. Tapi, kenapa wajahnya kelihatan tirus? Apa yang terjadi? Kenapa aku merasa sangat merindukannya?
Kuedarkan pandanganku. Kenapa langit-langit kamar putih, bukan kamar  kami yang biru?

“Kita ada di rumah sakit. Alhamdulillah, sekarang kamu sudah sadar. Aku senang sekali,” seru Mas Akram begitu menggebu, seakan-akan ia mau berteriak.
Berkali-kali ia mencium tanganku. Aku merasakan tanganku basah oleh pipinya.
Rumah sakit? Apa yang terjadi? Tanpa diminta, otakku bergerak memutar, melahirkan potongan-potongan kejadian. Mobil. Ledakan. Teriakan. Nyeri. Darah. Senyum mas Akram. Dan aku ingat, ada yang ingin kulakukan waktu.
Baru saja ku membuka mulut ketika Mas Akram berseru, “Oh, iya, sebentar. Kita harus memanggil dokter.”

Dengan cepat tangan Mas Akram memencit tombol merah yang ada di dinding.
Susah payah aku mengumpulkan kekuatan untuk menyentuh tangannya. Aku ingin mengatakan sesuatu. Bagaimana? Suaraku kemana?
“Tak apa, sebentar lagi dokter akan….”
Tiba-tiba pintu terbuka, diiringi dengan munculnya seorang dokter dan perawat.

“Dokter akan memeriksa. In sya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Aku menelpon ibu sebentar. Ibu pasti senang mendengarnya.”

Mas Akram terhenti ketika tanganku masih memegang lengannya. Ia melayangkan ciumannya ke keningku.
“Biarkan dokter memeriksanya.” Bisikan dan tatapannya yang lembut membuat tanganku pasrah terkulai. “Aku cuma menelpon ibu sebentar.”

Aku tak perduli dokter melakukan rentetan pemeriksaan. Perhatianku hanya tertuju pada sosoknya yang menghilang di balik pintu.

***
“Mas, mau membawaku ke mana?”
Aku sudah benar-benar bosan diam di rumah sakit. Sudah tak terhitung berapa kali aku merengek, namun dia tak juga bisa meluluhkan hati dokter. Alasannya tetap sama, aku belum sembuh total. Dokter mengkhawtirkan, jika aku pulang dan bebas beraktifitas, tulang kakiku kembali retak. Alasan dokter tak dapat kucerna dengan baik. Aku benar-benar bosan.

Akhirnya, kekesalanku tak bisa dibendung lagi. Aku menumpahkan semua kekesalan pada Mas Akram. Alhasil, aku melihat wajah Mas Akram memerah, geraham mengatup rapat. Mata sayunya berubah garang. Aku ketakutan melihatnya. Tak pernah aku melihatnya seperti ini.
Beruntung sekali, di balik ketakutanku, perlahan kekesalannya mulai melebur. Matanya kembali lembut. Sesaat keningnya berkerut, sepertinya ia sedang berpikir.
“Sebentar.”

Belum sempat kubertanya, Mas Akram sudah keluar dan tak lama muncul dengan membawa kursi roda. Tanpa aba-aba, ia langsung mengangkatku dan mendudukkanku ke kursi roda.
“Mas mau membawaku ke mana?” aku mengulangi pertanyaanku, karena dari tadi ia tak menjawab.
“Ke surga,”
Aku terksiap panik. Apa maksudnya ke surga? Apa mengalami hal yang serius? Aku memutar kepala untuk mencari tau apa maksudnya.

“Sudahlah, diam saja! Sebentar lagi sampai.” Ia terus mendorong kursi roda yang kududuki.
Sepanjang koridor, aku hanya diam. Pikiranku berkecamuk. Apa maksudnya?
Aku hampir tak percaya, Mas Akram membawaku kesebuah teman, di depan rumah sakit. Sudah lama aku tidak merasakan udara luar nan segar. Kami berhenti di dekat sebuah pancuran air. Bunyi aliran airnya melahirkan irama yang menenangkan hati.

Kuangkat wajah, menatap wajah semringah di depanku. Mas Akram merentangkan tangannya.
“Sayang sekali, tempatnya tidak sepi.”
Kuedarkan pandanganku. Taman ini ada di depan pintu utama rumah sakit, terlihat orang-orang berlalu lalu lalang keluar masuk.
Ke Barat Laut bagian luar terlihat parkiran mobil, menjorok ke Barat-Barat Laut ada parkiran motor, di kelilingi beberapa warung makan dan kios cemilan. Sedangkan ke arah Tenggara Barat ada rumah makan.
“Tak apa. Aku sangat suka. Terimakasih.”
Mas Akram berjongkok, duduk berhadapan denganku. Senyumnya, semakin membuat wajahnya semakin menawan. Astaga, ternyata mas Akram mempunyai belahan dagu.

Aku mengernyit, mengingat-ngingat kenapa aku tak menyadarinya, padahal aku bersamanya sudah lebih 100 hari.
Senyum mas Akram hilang, berganti wajah tanda tanya. Mungkin ia bingung dengan keherananku. Belahan dagunya juga lenyap.
Kini aku tahu, ternyata Mas Akram mempunyai belahan dagu yang samar, sehingga tidaklah nampak kecuali dia sangat bahagia, dan baru kali ini aku melihatnya. Apakah baru kali ini ia sangat bahagia? Selama bersamaku?
Kualihkan pandanganku ke pancuran air. Kujulur-julurkan tanganku, Aku ingin sekali menggapainya.

Mas Akram memahaminya. Ia mengangkat tubuh, dan mendudukkanku di bibir kolam. Bahu Mas Akram bergerak-gerak melihat kegiranganku.
“Terimakasih.”
“Tak perlu berterimakasih sesering itu. Itu kewajibanku,” tawa kecil menyela kata-katanya.
“Aku tetap harus berterimakasih,” kataku ngotot.
“Iya, sudah kalau begitu. Kamu harus janji, jangan bandel lagi. Harus turuti apa kata dokter, ya!”
Aku tertawa lepas. Mas Akram seakan-akan sedang bicara pada anak kecil.
“Ko, malah ketawa. Janji?”
“In sya Allah.”

Beberapa detik kami terdiam. Aku kembali sibuk memainkan air dalam kolam.
“Apa maksud Mas Akram membawaku ke surga tadi?”
Mas Akram tak langsung menjawab. Ia hanya menatapku lurus-lurus, aku melihat jelas di sana ada bayanganku.

Senyumnya kembali mengurai, samar-samar terlihat lagi belahan dagunya.
“Aku sangat mencintaimu. Mas ingin, kau selalu bersamaku. Baik di dunia ini, bahkan sampai ke akherat kelak. Untuk itu aku berjanji dalam diriku sendiri, akan selalu menjagamu, memperhatikanmu, dan membimbingmu. Bersama, kita menaati Allah dan Rasul-Nya. Tak perduli apakah kau mencintaiku atau tidak. Aku akan berusaha dan ikhlas bersabar, karena aku ingin selalu bersamamu.”

Air mataku meluncur begitu saja. Betapa berdosanya, menyia-menyiakan perasaan laki-laki sebaik dia. Bersama-sama sampai ke surga adalah janji orang-orang saleh. Melebihi janji para pemuja cinta.
“Apa aku terlalu memaksamu? ” Tangan lembut mas Akram menghapus lembut air mataku.

Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Suaraku bungkam disekap rasa bersalah. Aku membenamkan tubuh ke dalam pelukannya.
“Maafkan aku. Aku mencintai, Mas. Sangat  cinta.” Suaraku hanyalah berupa bisikan. Namun aku yakin, ia mendengarnya, sejelas aku mendengar gemuruh dadanya. Aku merasa tak pernah seyakin ini dalam hidupku.




Tidak ada komentar